Yance perwakian dari Aliansi Mahasiswa Papua menyampaikan orasi di tengah aksi Selamatkan Warga Yogyakarta, Sabtu (9/10) |
Ingar bingar massa diringi teriakan “Free West Papua” kembali terdengar di tengah Jalan Gejayan, Sabtu (9/10). Demikianlah teriakan itu hadir di tengah orasi sesaat demonstrasi yang diinisasi Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) sedang berlangsung.
Aksi yang bertajuk “Selamat(k)an Warga Yogya” menjadi wadah
untuk menggugat permasalahan yang terjadi di Tanah Air. Berbagai permasalahan
regional hingga nasional menjadi tuntutan dalam aksi tersebut. Salah tuntutan
yang cukup menarik perhatian ialah poin untuk membuka ruang demokrasi
seluas-luasnya di West Papua
Philosofis sempat melakukan wawancara dengan salah
satu pentolan Aliansi Mahasiswa Papua yang terlibat aksi di Gejayan Memanggil,
yakni Sam. Ia melihat banyak problem demokrasi yang belum terselesaikan di tanah Papua. “Kasus pembunuhan dan pembantaian dari tahun 1961 sampai hari ini tidak
terselesaikan karena tidak ada ruang demokrasi bagi masyarakat Papua,” ujarnya
kepada kru Philosofis sesaat sebelum massa membubarkan diri.
Selaras dengan Sam, Yance selaku perwakilan AMP yang sempat
berorasi di tengah massa aksi, mengatakan bahwa ruang demokrasi sama sekali
tidak dibuka di Papua. Ia menjelaskan sejak 2018, banyak masyarakat Papua yang
terusir dari tanahnya sendiri. Yance menjelaskan bahwa kelompok masyarakat yang
terusir ini adalah bukti bahwa tidak adanya wadah untuk menyampaikan
aspirasi bagi warga Papua.
Selain itu, Jeffron, kawan lain dari AMP juga
menegaskan bahwa di Papua memang tidak ada ruang demokrasi. “Ketika kami
berkumpul sedikit saja untuk menyuarakan aspirasi, di situ ada TNI-POLRI, (lalu
kami) dibubarkan”, ujar pria berperawakan tinggi ini sambil mengapit kedua
rokok dengan kedua jarinya.
Selain itu Sam juga juga menimpali masalah lain yang
ada di Papua, salah satunya penyensoran media. Menurutnya kondisi minimnya
informasi yang objektif dari tanah Papua disebabkan oleh militer yang telah mengebiri
hak-hak mereka untuk bersuara. Selain seringkali mengebiri hak demokratis, ia
juga menjelaskan bahwa militer juga menjadi aktor utama yang menjaga
kepentingan elit.
“Mereka (militer) masuk untuk kepentingan kapitalis.
Ada jenderal yang tanam sahamnya di Papua, sehingga militer Indonesia lebih
banyak di kirim ke Papua,” tutur Sam kesal.
Keterangan lain tentang penderitaan warga Papua juga disampaikan
oleh Jeffron, di mana kini masyarakat di Nduga, Intan Jaya, dan Maybart sedang
mengungsi. Masyarakat di daerah tersebut meninggalkan tanah kelahirannya karena
militer telah menguasai desanya.
“Mereka mengungsi karena militer menduduki desa dengan
dalih mengamankan sumber daya alam dan mencari KKB,” ucap Oni, pemuda berumur
22 tahun yang juga bagian dari AMP. Demokrasi di Papua sudah dikebiri sejak
datangnya 300.000 militer ke Tanah Cendrawasih. Lebih lanjut, Oni menjelaskan
bahwa kedatangan militer ke tanah mereka bukan hanya mengatasnamakan NKRI Harga Mati, namun sejatinya juga demi mengamankan
akumulasi modal dari elit nasional maupun internasional.
Sebelum percakapan di tutup, Sam berharap bahwa perjuangan harus tetap dikobarkan. “Perjuangan rakyat Papua adalah perjuangan rakyat Indonesia. Musuh kita sama, di sini kalian melawan kapitalis, di sana kami pun juga. Oleh karena itu, kita membutuhkan solidaritas yang kuat tanpa memadang isu rasisme.”
Zhafran Naufal Hilmy
Reporter: Zhafran Naufal Hilmy dan Irvan Bukhori
Editor: Arina