Ilustrasi: Fanny Puspita Wijayanti |
Perempuan itu duduk termenung di tepi jalan. Sering kali wajahnya menunduk menatap layar gawai yang dia gengam -- kemudian -- menatap jalanan dengan ekspresi muram. Sudah seharian dia berada di jalan, berbekal aplikasi dalam gawai dan jaket sebuah perusahaan transportasi online. Celakanya, belum satu pun order-an masuk dalam akunnya. Perempuan itu menghela nafas, memikirkan bagaimana jika hari ini tidak dapat membawa uang hasil bekerja untuk kedua anaknya.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, tekanan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, jauh lebih membebani pekerja perempuan. Hal ini disebabkan oleh turunnya partisipasi pekerja perempuan, karena sektor bisnis seperti restoran, akomondasi dan perhotelan dipukul telak sesaat merebaknya pandemi Covid-19. Belum cukup sampai situ, mayoritas pekerja perempuan kehilangan jam kerja hingga tak tanggung-tanggung mencapai 50%. Penurunan ini tentu berantai pada anjloknya pendapatan yang diperoleh oleh pekerja perempuan. Sehingga, beberapa kelompok pekerja perempuan harus pontang-panting mencari penghasilan demi bertahan hidup.
Dalam diskursus ketenagakerjaan, Ekonomi Gig merupakan istilah baru yang di glorifikasi sebagai ekonomi masa depan. Sistem ini menawarkan jam kerja yang fleksibel, kontrak kerja pendek, dan pekerja kontrak independen. Sehingga sistem ini memungkinkan agar pekerja bebas mengatur kapan dan di mana dirinya ingin bekerja. Ekonomi Gig, membuat perempuan dapat mencoba lapangan pekerjaan yang beragam, salah satunya sebagai mitra kerja ojek online.
Pesatnya teknologi digital, membawa kita pada kemudahan akses dalam kehidupan sehari-hari. Cukup dengan gawai, anda dapat mengakses layanan digital yang menunjang gaya hidup sehari-hari. Di Indonesia, penyedia platform online tumbuh begitu pesat, contohnya Grab, Gojek, dan Uber. Akan tetapi, dibalik pesatnya pertumbuhan tersebut, terdapat pengemudi online yang tidak mendapatkan keamanan, upah yang layak, dan kesejahteraan karena statusnya sebagai mitra.
Dia bernama Mpok Lulu, sehari-hari ia bekerja sebagai pengemudi ojek online. Hal ini terjadi karena wanita paruh baya ini tidak punya banyak pilihan. Walau usianya tidak lagi muda, Mpok Lulu tetap berkerja demi menghidupi kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. Setelah bercerai dari sang suami beberapa tahun lalu, dia menanggung beban kerja ganda untuk menyambung hidup anak-anaknya. Terhitung sudah lima tahun, sejak pertama kali dia memutuskan menjadi pengemudi ojek online.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilawatkan Philosofis, terdapat banyak kendala yang Mpok Lulu hadapi, terutama berkaitan dengan persoalan gender. Dia sering mengalami pembatalan sepihak dari pelanggan hanya karena Mpok Lulu perempuan. Belum lagi, terdapat anggapan yang melihat perempuan sebagai subjek yang lemah. Sehingga, tak jarang beberapa pelanggan, meminta untuk membawa motor tersebut sendiri, dibandingkan harus dibonceng oleh Mpok Lulu. “Saya malulah buk, kalau dibonceng perempuan.” Ucap Mpok Lulu menirukan kalimat pelanggannya.
Sebagai single parent, Mpok Lulu berusaha untuk memenuhi kebutuhan kedua anaknya. Tak jarang perasaan takut menghampiri, saat mendapatkan orderan pada malam hari. Jalanan yang sepi dan penerangan yang minim membuat perasaan was-was terus menghantui. Akan tetapi, sebisa mungkin dia melawan itu semua demi kedua anaknya. “Perasaan takut itu pasti ada mba, tapi kalau sudah ingat anak-anak, ya saya beranikan.” Ujarnya pada wawancara hari itu. Sulitnya mencari pelanggan tentu berdampak pada penurunan penghasilan yang ia terima. Upah yang didapat dari hasil bekerja, belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga, terkadang Mpok Lulu harus menumpuk hutang terlebih dahulu untuk menyambung kehidupannya.
Hubungan perusahaan transportasi online dan pekerja sebagai mitra, membuat para pengemudi ojek online tidak mendapatkan hak yang seharusnya diperoleh. Hal ini disebabkan, karena secara hukum hubungan antara perusahaan dan pengemudi bukanlah hubungan kerja, melainkan hanya sebagai mitra. Bila mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana telah diatur mengenai pekerjaan, hak pekerja, perintah, dan upah.
Sehingga dalam konteks transportasi online, unsur yang terpenuhi ialah hanya perintah pekerjaan dari perusahaan kepada pekerja. Namun, tidak dengan perlindungan hak dan upah pekerja. Para pengemudi online tidak mendapatkan perlindungan dan hak-hak seperti yang tercantum dalam UUK, hal ini berakibat pada rentannya keselamatan dan keamanan pengemudi serta rawan untuk dieksploitasi.
Terlebih pada pengemudi perempuan, mereka tidak mendapatkan hak-hak pekerja seperti cuti hamil, cuti haid, cuti menyusui, dan cuti melahirkan. Bila mereka tidak bekerja dalam rentan waktu yang cukup lama, status kemitraan pengemudi bisa diputus secara sepihak oleh perusahaan. Oleh karena itu, para pengemudi perempuan harus bertahan melawan kodrat gendernya sendiri.
Kisah yang tak jauh berbeda dari Mpok Lulu, juga dihadapi oleh Evi (31). Dia merupakan salah satu pengemudi di perusahaan transportasi online. Setelah bercerai dengan sang suami dua tahun lalu, Evi memutuskan untuk terjun mencari nafkah sendiri. Jam kerja yang fleksibel, memudahkan Evi membagi waktu untuk bekerja, mengurus rumah tangga, dan mengurus dua anaknya yang masih duduk di sekolah dasar.
Menurutnya, menjadi pengemudi ojek online perempuan tidaklah mudah. “Bila tidak kerja, tidak dapat uang. Belum lagi, belakangan ini tidak ada bonus dari perusahaan. Sehingga saya harus giat agar upah yang didapat memenuhi kebutuhan keluarga.” Ujarnya sesaat dihubungi via telepon.
Kondisi ini diperparah dengan cat-calling dan pelecehan verbal yang didapat Evi dari pelanggan, sesama pengemudi ojek online ataupun pegawai restauran patner perusahaan tempatnya bekerja. Bahkan pernah pada suatu waktu, ada pengemudi ojek online yang mencari dirinya setelah mengetahui identitas Evi melalui Twitter. Perilaku-perilaku tersebut tentu membuat Evi risih, namun karena tidak ingin memperpanjang masalah, Evi memilih diam. Kecuali, jika perilaku tersebut sudah berlebihan, Evi tidak segan untuk melawan.
Selain itu, pandangan dan perilaku seksis tidak jarang Evi dapatkan. Dimana dalam masyarakat yang masih patriarkis, ia sering mengalami hal yang sama dengan Mpok Lulu–mendapatkan pembatalan sepihak dari pelanggan karena dirinya perempuan. Tidak jarang juga Evi mendapatkan pelanggan yang memilih untuk membawa motornya sendiri dibandingkan dia yang membawanya. Alasannya sama, para pelanggan yang mayoritas laki-laki tak ingin kehilangan citra macho karena dibonceng oleh perempuan.
Dalam sehari, tidak ada target berapa jam Evi harus bekerja, karena sistem yang dipakai ialah sistem target orderan. Sehingga bila pesanan belum mencapai 17, maka Evi belum bisa pulang untuk menemui kedua anaknya. Pesanan yang masuk pun diatur oleh sistem. Kerap kali, dia mendapatkan orderan pada gelap malam hingga dini hari.
Agar mampu menghidupi keluarganya, dengan status sebagai pengemudi platinum, Evi harus memenuhi target 17 trip. Sebagai tulang punggung keluarga dengan lima orang anggota, Evi tidak ragu menembus gelapnya malam demi memenuhi kebutuhan keluarga. Walaupun, dirinya sering kali diterpa reguk rasa ngeri.
Menurut Arif Novianto dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA), Magister Administrasi Publik (MAP), Fisipol UGM, kala dihubungi melalui telephone, terdapat beberapa hal yang membedakan Ekonomi Gig dengan ekonomi konvensional. Bila Ekonomi Gig, mengatur upah didasarkan pada jumlah layanan yang diberikan oleh pekerja, sedangkan dalam ekonomi konvensional upah dibayarkan berdasarkan waktu kerjanya. Ekonomi Gig telah ada sejak dahulu, tumbuh begitu subur, contohnya sistem pengupahan buruh tani dan buruh teh di desa-desa.
Ekonomi Gig memang memberikan fleksibelitas dan independensi bagi pekerja, namun disaat yang sama sistem ini juga menghapuskan hak-hak pekerja. Dalam kasus ojek online jika pengemudi tidak disiplin, maka orderan yang didapatkan akan sedikit. Semakin lama pengemudi menyalakan aplikasi, maka kian besar pula peluang mendapatkan pesanan dari sistem. Di satu sisi algoritma demikian acap membawa kerugian pada pengemudi, karena dapat diibaratkan dibalik satu pengemudi yang gacor (mendapatkan orderan terus-menerus) terdapat lima pengemudi yang sepi orderan.
Menurut Arif, kemitraan antara perusahaan transportasi online dan pengemudi dapat dibilang palsu. Status sebagai mitra tidak lantas membuat pengemudi ojek online dapat mengakses informasi dan turut serta dalam rundingan-rundingan mengenai tarif, potongan, bonus, dan sanksi yang diterapkan oleh perusahaan. Kemitraan hanyalah embel-embel, namun, dalam kenyataannya semua keputusan dikeluarkan secara sepihak oleh perusahaan, tak berbeda seperti hubungan buruh dan pekerja.
Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2008, hubungan kemitraan harus menerapkan prinsip-prinsip kemitraan yaitu saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Namun, dalam kenyataannya prinsip-prinsip tersebut tidak dijalankan. Ketimpangan ini dimanfaatkan perusahaan untuk tidak memberikan hak dan kewajiban bagi pengemudi ojek online.
Hubungan kemitraan membuat perusahaan transportasi online tidak terikat untuk melindungi mitranya. Menurut Arif, seorang pengemudi rentan untuk dieksploitasi oleh perusahaan tempatnya bekerja, hal ini disebabkan karena payung hukum yang mengatur hubungan kemitraan sangatlah terbatas. Payung hukum yang berbeda akan menimbulkan efek yang berbeda pula terhadap pekerja. Hubungan kerja harus memenuhi ketentuan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan sementara hubungan kemitraan berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Ketenagakerjaan melindungi pekerja untuk memperoleh haknya dalam memperoleh Upah Minimum Regional (UMR), hari libur, jam kerja delapan jam sehari, dan upah lembur. Tidak hanya itu, para pemberi kerja dalam Pasal 35 juga wajib memberikan perlindungan mencakup keselamatan dan kesehatan mental maupun fisik para pekerja.
Sedangkan pada kenyataannya, perusahaan transportasi online tidak dapat memenuhi hak-hak tersebut karena status kemitraan. Sehingga, apabila pengemudi ojek online mengalami kecelakaan, biaya ditanggung oleh dirinya sendiri melalui BPJS Ketenagakerjaan. Kontrak kemitraan tidak bisa dinegosiasikan, apabila pengemudi ojek online menolak atau merasa keberatan, maka akun mereka akan di non-aktifkan.
Sudah seharusnya perusahaan memberikan jaminan dan asuransi kesehatan bagi setiap pengemudi, bukan hanya menyarankan saja. Tidak adanya upah minimum yang harus diterima pengemudi ojek online, membuat banyak pengemudi mendapatkan upah yang rendah, sehingga mereka tidak mampu merawat kendaraanya sendiri.
Keadaan ini tentu menyesakan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka kesulitan, apalagi untuk membayar iuran kesehatan yang tidak ditanggung perusahaan. Sudah seharusnya pemerintah mengeluarkan peraturan yang spesifik mengenai Ekonomi Gig dan kerja digital. Namun, untuk produk politik ini, diperlukan perjuangan kolektif antar seluruh pengemudi transportasi online. Arif mewanti-wanti pentingnya kelompok pengemudi untuk berserikat dan melakukan upaya pemogokan.
Selain itu, ia juga
menekankan pentingnya masalah dibawa ke ranah hukum. Baginya, semua harus terlibat
dalam mewujudkan proses ini, agar perusahaan dan pemerintah tidak membuta
terkait kesejahteraan pengemudi ojek online
di seluruh Indonesia. Sehingga berikut hari, tidak ada lagi orang-orang
yang bernasib seperti Mpok Lulu dan Evi.
Rachma Syifa
Faiza Rachel
Editor: Rohmawati dan Rindi Aliatissholihah
Tulisan ini
merupakan bagian dari Kelas Mahasiswa yang didukung oleh Citradaya Nita 2021
berkerja sama dengan Project Multatuli dan AJI Jakarta.