Illustrasi: Rindi |
Oktober 1945, tepatnya pada tanggal 5 merupakan hari bersejarah bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada tahun tersebut, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk. Pemerintah RI mengeluarkan dekrit pembentukan TKR sebagai perubahan organisasi sebelumnya yang bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).
BKR hanya sebagai wadah laskar-laskar perjuangan. setelah pembentukan TKR, para pejuang mulai disatukan dan tergabung mulai didata. Hal ini juga menandai peralihan TKR dari organisasi yang belum teratur menjadi organisasi yang teratur. Oerip Soemohardjo ditunjuk sebagai kepala staf pertama.
TKR kemudian
berganti menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Kepala Staf TNI AD, Jenderal Andika Perkasa menjadi
pimpinan saat ini. Selama
kepemimpinannya telah terjadi beberapa perubahan. Salah satunya menghapus tes
keperawanan untuk calon anggota Komando Wanita Angkatan Darat (KOWAD). Hal tersebut menjadi kontroversi
di kalangan masyarakat. Terlebih TNI sejak Orde Baru sudah melekat dengan
maskulinitasnya.
Pemeriksaan hymen atau selaput dara untuk
membuktikan keperawanan sudah tidak diberlakukan karena dinilai melanggar Hak Asasi Manusia. Kebijakan ini memicu
adanya kontroversi di masyarakat. Kalangan pro
kebijakan berargumen setuju karena dianggap baik dan menjunjung tinggi
HAM.
Sementara itu kalangan kontra menganggap keperawanan sebagai sesuatu yang sakral dalam
diri perempuan. Sejak dulu, tidak sedikit orang Indonesia yang mengganggap
kehilangan keperawanan sama dengan kehilangan harga diri atau tidak suci lagi.
Sebenarnya apa itu keperawanan? Apakah seorang perempuan kehilangan keperawanan hanya karena berhubungan seksual dengan lawan jenis? Keperawanan sendiri dalam dunia medis dikenal dengan sebutan selaput dara.
Perempuan dikatakan
masih perawan memiliki selaput dara yang masih utuh. Selaput dara adalah bagian selaput
yang relatif
kurang pembuluh darah, jika robek tidak akan mengalami pendarahan terlalu
banyak. Apabila terjadi penetrasi saat berhubungan badan yang
dipaksakan, hal itu menyebabkan
luka goresan pada dinding vagina sehingga menyebabkan noda darah.
Noda darah inilah yang disebut
sebagai darah keperawanan. Sehingga muncul anggapan bahwa perempuan yang masih perawan adalah mereka
yang saat pertama kali berhubungan seksual mengeluarkan darah pada vaginanya.
Anggapan tersebut keliru, karena selaput dara merupakan bagian
yang sangat tipis. Perempuan dapat kehilangan selaput daranya
karena trauma berat yang dialami atau aktivitas berat yang pernah
dilakukan. Oleh karena itu
selaput dara bisa robek dengan sendirinya.
Dr. Andri Wananda, pakar Seksologi
Universitas Tarumanegara menyebutkan tata cara tes keperawanan dilakukan
kepada perempuan yang
tidak sedang haid. Pertama, tubuh dibaringkan pada tempat tidur yang
tersedia. Selanjutnya dokter akan membuka vagina dengan alat bantu untuk
melihat selaput daranya.
Apakah masih utuh atau telah
terkoyak. Kedua, adalah dengan memasukkan
dua jari ke dalam vagina untuk menilai masih ada atau tidaknya selaput dara.
Mungkin bagi sebagian perempuan dapat dikatakan
tes keperawanan ini sedikit menyeramkan karena akan ada efek rasa sakit yang
diterima sesaat dan sesudah tes berlangsung. Bahkan tidak menutup kemungkinan tes
tersebut bisa mengakibatkan trauma.
Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) menentang adanya tes keperawanan ini. Tes keperawanan tidak memiliki manfaat ilmiah maupun klinis. Tes tersebut juga tidak menunjukan keakuratan apakah selaput dara robek karena berhubungan seksual atau akibat aktivitas berat. Bahkan tes keperawanan berdampak bagi kerugian fisik maupun psikis bagi para perempuan. Tes keperawanan hanya berujung pada diskriminasi kaum perempuan dan melanggar HAM.
Hal ini menjadi dasar kebijakan
Jenderal Andika Perkasa untuk menghapuskan tes keperawanan bagi calon KOWAD.
Terlepas dari pro-kontra yang ada, dengan adanya penghapusan tes keperawanan
ini menjadi peluang bagi para perempuan Indonesia untuk
mengabdikan diri menjadi anggota KOWAD akan terbuka lebar.
Tidak logis apabila gagalnya perempuan menjadi TNI hanya karena selaput daranya. Masih banyak aspek lain
yang relevan dan dapat dipertimbangkan dalam penerimaan calon anggota KOWAD.
Muhamad Azhari Ramadan
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Sejarah 2020
Editor: Diah Eka
Artati, Rientania
Nuhanida