Sepak bola dan politik seakan menjadi dua entitas yang haram untuk disatukan. “Kick politics from our Football”, demikianlah slogan ini kian banyak terbentang di spanduk-spanduk suporter yang menyaksikan tim kesayangannya berlaga. Sepak bola dianggap sebagai sesuatu yang suci dan bahkan tidak jarang dijunjung bak agama. Sedangkan politik selalu diinterpretasikan sebagai suatu yang najis dan tidak bisa disatukan dengan sepak bola.
Wajar apabila melihat berbagai narasi yang tidak sudi
menyatukan Si Bundar dan politik, dalam kehidupan sepak bola modern saat ini.
Banyak faktor yang menjadi latar belakang narasi-narasi itu muncul, salah
satunya adalah kapitalisasi yang dilakukan kalangan elit. Sehingga, sepak bola
sudah tidak menjadi entitas suci dan murni—sebagai permainan—di atas lapangan,
melainkan hanya dijadikan komoditas bisnis.
Banyak penikmat bola menganggap politik dalam sepak bola
sebagai hal yang kotor atau najis. Komersialisasi dan kapitalisasi menjadi
makna tunggal dalam banyak kacamata penikmat sepak bola. Seolah tidak melihat
makna lain, seperti perjuangan melawan hegemoni Barat, kesetaraan gender,
menolak rasisme, atau bahkan melawan fasisme.
Apabila ditarik mundur, berbagai wacana dan diskursus
politik menjadi cikal bakal lahirnya klub dan organisasi sepakbola di dunia.
Tak terkecuali berdirinya PSSI. Munculnya PSSI sebagai wadah sepak bola pribumi
tidak bisa dijauhkan dari kepentingan politik untuk melawan hegemoni pemerintah
Hindia-Belanda. Hal ini berikut hari berkembang menjadi perlawanan terhadap
kolonialisme.
PSSI muncul sebagai organisasi yang bisa menyebarkan
nasionalisme lebih cepat ke akar rumput daripada partai politik. Dalam buku Soeratin Sosrosoegondo: Menentang Penjajahan
Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaan, tercatat bahwa sepak bola adalah cara
yang sangat efektif dan satu-satunya untuk melawan serta mempermalukan
pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Bahkan tanpa harus mengangkat senjata.
Melalui PSSI, orang-orang pribumi bisa mempermalukan Belanda
dan NIVB (Organisasi Sepak Bola Hindia-Belanda) di khalayak umum. Sebuah
kesadaran pun kian terbangun, orang-orang pribumi tidak selalu rendah di hadapan
Belanda. PSSI adalah contoh bagaimana sepak bola bisa dijadikan alat politik
untuk melawan hegemoni pemerintah Hindia-Belanda.
Beralih ke daratan Eropa. Benua Biru muncul sebagai rahim
sepak bola dengan ingar bingar klub-klub top berserta segudang prestasinya.
Munculnya klub sepak bola di Eropa juga dibarengi dengan berbagai diskursus
politik tandingan atas keadaan sosial yang timpang. Mulai dari Feminisme,
Rasisme, hingga perlawanan Fasisme, menjadi landasan awal terbentuknya klub
sepak bola.
Nettie Honeyball adalah tokoh feminis Inggris pertama yang memakai sepak bola
sebagai alat untuk menyuarakan kesetaraan gender di kalangan masyarakat patriarkis.
Berbagai penolakan muncul dari kaum konservatif bahkan dari Kerajaan Inggris.
Penolakannya bukan tanpa alasan, sepak bola wanita dianggap telah melanggar
aturan atau kodrat seorang wanita untuk tidak seharusnya melakukan permainan
yang keras. Lebih jauh, kaum konservatif Inggris mengharuskan wanita untuk
memakai rok dan pakaian tertutup. Sehingga sepakbola dianggap bukan milik kaum
hawa
Di tahun 1921, The Football Association (FA) melarang dan
membekukan sepak bola wanita dengan dalih: karena sepak bola dianggap olahraga
kaum adam. Kala itu para tokoh sepak bola wanita di Inggris, merespon dengan
membuat organisasi tandingan bernama English Ladies Football Association
(ELFA). Langkah ini demi menaungi klub sepak bola wanita yang kehilangan ruang.
Perjuangan demi mencapai kesetaran gender oleh Nettie Honeyball akhirnya
terwujud setelah hari ini banyak pertandingan dan klub sepak bola wanita
menjamur di seluruh dunia.
Berangkat dari runtuhnya Fasisme dan Nazi di Jerman, FC St.
Pauli berdiri di pinggiran kota Hamburg dengan prinsip: “Dari Politis Hingga
Kemanusiaan”. Dalam jurnal The Politics and Culture of FC St. Pauli: from Leftism, Trough
Anti Establishment, to Commercialization, dijelaskan bahwa St. Pauli adalah
klub yang menolak komersialisasi sepakbola, fasis, rasis, dan seksis.
FC St. Pauli sering dijuluki klub sepakbola “paling kiri” di
Jerman, bahkan dunia. Setiap pertandingan di kandang, suporter dari klub ini
selalu membentangkan spanduk bertulisan “Jangan lagi fasis! Jangan lagi
berperang!”. Selain menyuarakan dengan spanduk, fans garis keras tersebut juga
menciptakan fanzine yang berisi
menolak fasisme, kapitalisme, dan rasisme. St. Pauli berafiliasi dengan
beberapa partai kiri, seperti Deutsche Kommunistische Partei, Sozialistische
Einheitspartei Deutschlands, dan Die Linke untuk menyuarakan aspirasi
politiknya.
Pemandangan sangat menarik tatkala menilik Stadion
Millerntor. Markas kebesaran St. Pauli itu tidak hanya dimiliki oleh klub
sepakbola dan pemainnya, namun kaum tunawisma juga memiliki hak yang sama di
sana. Pengorganisiran kaum tunawisma di markas St. Pauli menjadi anti-tesis
bahwa sepak bola bukan hanya sekedar permainan.
Merebaknya isu-isu tentang seksisme, rasisme, dan bangkitnya
sayap kanan yang masuk ke dalam sendi-sendi sepak bola membuat St. Pauli tak
tinggal diam. Dimulai di Fanladen, toko klub St. Pauli, sering mengadakan
pelbagai diskusi mengenai ekstrimisme kanan, anti fasis, dan bahkan mengenai
pluralisme gender, sebagai bahan bakar membangun diskursus.
Beberapa kasus di atas membuktikan bahwa sepak bola bukan
hanya soal lapangan hijau, gawang, dan waktu 90 menit. Lebih dari itu, sepak
bola menjadi alat untuk melawan hegemoni kekuasaan.
Apabila sepak bola sebagai alegoris sebuah agama, berarti fungsi-fungsi sosial dalam agama juga harus ada dalam sepak bola. Sepakbola memang tidak menjanjikan surga. Namun, seperti agama, ia memberikan jalan keluar dari laknatnya dunia.
Zhafran Naufal Hilmy
Editor: Rachmad Ganta Semendawai dan Irfan Arfianto