Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Kisah ini berawal dari seorang anak yang berjalan sendiri di tengah hujan untuk berangkat menuju
ke sekolah. Ketika hampir
sampai tujuan, tepatnya di sekitar gedung kontruksi, seseorang yang dalam
keadaan mabuk mencegat bocah malang itu, lalu membawanya ke gudang. Di sana tubuhnya
dinodai dengan aksi kekerasan
seksual yang mengakibatkan luka parah pada bagian wajahnya dan
usus besar.
Lebih parahnya lagi, anusnya robek. Ia harus menggunakan anus buatan seumur hidupnya. Tidak hanya itu, psikisnya
pun terganggu. Si kecil itu mengalami trauma yang begitu berat hingga takut untuk
bertemu dengan lawan jenisnya. Cerita itu merupakan salah satu adegan yang ada di film Hope, sebuah film yang diambil dari kisah nyata
tentang bagaimana kekerasan seksual yang dialami oleh bocah berusia 8 tahun.
Pelecehan seksual terhadap anak dapat diartikan sebagai tindakan
kejahatan yang dilakukan oleh tangan-tangan orang dewasa—menodai tubuh polos
tunas-tunas kecil. Mereka, para anak, dengan malangnya dijadikan alat pemuas
nafsu. Di Indonesia sendiri, tindak kejahatan ini masih lumrah terjadi.
Tak jarang kita menemui headline surat kabar yang mewartakan maraknya kasus pelecehan pada anak. Menurut data yang dirilis oleh
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA),
sepanjang 2021 tepatnya 3 Juni 2021, sudah terdapat
3.122 kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Korban pelecehan rentan menerpa kelompok usia
dini, mengingat para bocah dianggap sebagai mahluk lemah dan masih bergantung
kepada orang dewasa. Sikap masyarakat yang tak peduli terhadap korban kian
menyebabkan praktik ini makin menjamur.
Korban pun menjadi takut untuk mengungkapkan apa
yang telah terjadi. Dari banyaknya kasus itu, tak jarang pelakunya adalah orang
yang memiliki hubungan dekat dengan korban, seperti guru dan keluarga.
Tidak ada karakteristik khusus untuk mengenali pelaku pelecehan seksual.
Karena mereka—para
pelaku—dapat berasal dari latar belakang
yang berbeda. Tidak mengenal status hubungan yang dimiliki pelaku
terhadap korban. Jika dulu ada sebuah pepatah kuno yang mengatakan
“harimau tak mungkin memangsa anaknya sendiri, begitu juga manusia tidak
memakan anaknya sendiri”.
Namun, sayangnya pepatah itu terbantahkan setelah
melihat maraknya kasus
pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak. Sebagai contoh, pada bulan Maret lalu, seorang ayah di Jakarta Utara melakukan pelecehan terhadap putrinya sendiri. Mirisnya, aksi tersebut sudah dilakukan selama satu tahun sejak sang korban masih
duduk di bangku kelas satu SMK. Sang ayah dengan licik melancarkan tindak
asusilanya saat keadaan rumah sedang sepi.
Tentu saja perbuatan ini merupakan tindakan yang sangat keji. Entah apa
yang ada di pikiran para pelaku penjahat kelamin ini. Mereka seolah
tidak memikirkan masa depan korban dan hanya memprioritaskan kepuasan nafsu
semata. Jelas, mereka tidak peduli dengan dampak buruk berkelanjutan
yang korban terima nantinya.
Aksi bejat pelaku tidak hanya memberi luka bagi tubuh korban.
Namun, ada juga luka tak kasat mata yang menghujam mental korban. Tak jarang
mereka mengalami resiko penyakit menular hingga rasa tidak nyaman di sekitar
area kelamin.
Sedangkan, dampak secara psikis yang diterima berupa trauma
dahsyat, rasa cemas, dan gangguan kepribadian. Rasa trauma yang menghantui
korban pelecehan seksual akan sulit untuk dihilangkan. Mereka akan selalu
dibayang-bayangi kejadian keji tersebut. Bahkan, pada titik tertentu korban
bisa saja takut bertemu dengan lawan jenisnya.
Melihat dampak yang diterima oleh korban pelecehan seksual,
tentu perlu adanya penanganan yang cukup intens, entah terhadap korban ataupun
pelaku. Si anak harus mendapatkan dukungan moral serta perlindungan hukum. Setidaknya
ini dapat membantu korban agar bisa melewati fase trauma.
Peran aktif masyarakat juga sangat dibutuhkan, mereka tak
boleh acuh terhadap korban. Penyintas pelecehan seksual perlu mendapat
perhatian lebih, lagi dan lagi. Sedangkan untuk pelaku, perlu adanya kontrol
yang tegas dari masyarakat untuk mengatur libido yang dimiliki pelaku agar tidak merugikan pihak lain.
Pemerintah
juga harus berperan aktif untuk melindungi anak-anak dari kasus pelecehan seksual yang rentan menimpa mereka. Hukum yang telah ada saat ini masih belum cukup untuk membuat para pelaku
pelecehan jera, perlu ada supremasi hukum yang lebih tegas.
Akan
tetapi, tidak
cukup hanya dengan kebijakan yang tegas. Penanganan pasca kejadian terhadap
pelaku dan korban harus dibenahi kembali. Hingga pada akhirnya, bibit masa
depan ini dapat berada di dalam lingkungan yang ramah dari tindakan kekerasan
seksual.
Aldi Febriansyah
Editor: Irfan
Arfianto