Illustrasi: Galih Setiawan |
"Gemah Ripah Loh Jinawi"
Demikianlah, langgam
tersebut acap terdengar sebagai salah satu frasa yang populer di masyarakat
Jawa. Sebuah kalimat yang coba mencerminkan Indonesia sebagai tempat
tentram, makmur, dan subur. Dengan iklim
tropis, sumber daya alam melimpah, dan keanekaragaman hayati, negeri ini seolah
memiliki semua hal yang dapat menunjang keberlangsungan hidup manusia.
Memang, semua hal yang
disebutkan tadi dapat dijadikan piranti dalam pembentukan ketahanan pangan
masyarakat. Apalagi bila dikelola dengan baik. Namun, celakanya terjadi
paradoks. Krisis pangan justru kerap menerjang negeri ini, apalagi jika kawasan
tersebut tidak memiliki lahan dan tidak mampu memproduksi tanaman komoditas
pangan tertentu.
Salah satu kasus yang
baru-baru ini terjadi ialah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kini, kawasan
tersebut sedang bertarung dengan krisis konsumsi dan produksi yang akut. Salah
satu biang keroknya ialah ketergantungan pada pangan impor
Alhasil, apa yang
terjadi di NTT itu amat berlawanan dengan langgam pembuka di atas, “gemah ripah
loh Jinawi” atau yang bermakna “wilayah subur yang membawa kemakmuran”. Ironi,
bukan? Parahnya lagi, ironi ini makin diperburuk dengan pandemi Covid-19, yang
kian menggila. Ketahanan pangan yang sedari dulu rapuh, makin diperjelas kala
pandemi merebak.
Organisasi Pangan
Sedunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) sebenarnya sudah
memberikan memorandum
untuk memperhatikan ketahanan pangan di tengah pandemi Covid-19 demi menghindari
krisis pangan. Dalam memorandumnya, mereka
mewanti-wanti pada dunia, khususnya Indonesia, untuk sigap dalam mengontrol
kesediaan pangan demi menghindari krisis yang lebih akut.
Merespon peringatan yang dikeluarkan oleh FAO, Presiden Joko Widodo langsung mengeluarkan perintah kepada BUMN untuk membuka lahan persawahan baru. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan. Jokowi mengungkapkan bahwa langkah tersebut merupakan upaya menangani defisit kebutuhan, beberapa jenis komoditas pokok masyarakat di beberapa wilayah (Kompas, 2020). Pemerintah menggembar-gemborkan program ini dengan nama yang cukup menjanjikan: “Food Estate”. Namun, semenjanjikan apa proyek ini, khususnya dalam mengentaskan krisis pangan?
Food Estate dan Rasa
Kapok
Pemerintah terus
menyerukan proyek food estate, yang menjadi Program Ekonomi Nasional. Tak
tanggung-tanggung, Presiden Jokowi menempatkannya proyek ini sebagai salah satu
agenda Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Sasaran lokasi program Food Estate sendiri
berada di empat provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan
Tengah, dan Papua.
Kendati di hadapan
media wacana akan proyek ini “seakan” menjanjikan, tapi pada akhirnya proyek ini masih
menimbulkan kontroversi. Beragam penolakan muncul dari
berbagai kalangan, bahkan juga para pakar. Salah satu yang seringkali digugat ialah ambisi
mencetak persawahan di lahan gambut, yang notabene rawan mengalami kekeringan
dan berujung kebakaran (Pantau Gambut, 2021). Terlebih lahan gambut juga
dikenal kurang produktif dalam urusan pertanian dibanding tanah yang kaya
mineral
Di samping sejumlah
penolakan, ambisi orang nomor satu di Republik ini juga dianggap terlalu
terburu-buru, gegabah, dan tanpa perencanaan yang matang. Terlebih, proyek Food Estate amat bersiko, karena akan menyebabkan alih fungsi lahan secara masif,
terutama untuk kawasan gambut yang memerlukan kajian lingkungan, ekonomi, dan
sosial yang melibatkan masyarakat secara komprehensif. Mengingat masyarakat lokal jauh lebih paham akan pengelolaan lahan gambut di tanahnya sendiri.
Entah, apakah negara melihat
proyek Food Estate sebagai jalan satu-satunya dalam menanggapi krisis pangan,
sehingga mereka menutup mata dan telinga, serta bebal dalam menerima masukan.
Padahal, Food Estate tak sesederhana membuka lahan persawahan secara
masif, lalu ujug-ujug swasembada. Ada aspek lain—dan jauh lebih penting—yang
harus diperhatikan.
Dalam kasus proyek Food Estate di Kalimantan, misalnya. Lokasi yang diproyeksikan untuk
program ini berada dalam kawasan Eks-Proyek
Pengembangan Lahan Gambut (PLG). Tak tanggung-tanggung,
satu juta hektar dipersiapkan dalam menyongsong ambisi Jokowi tersebut. Padahal,
sekitar 883.000 hektare di kawasan tersebut memiliki Fungsi Ekosistem Gambut
(FEG), yang harus dilindung (Pantau Gambut, 2021).
FEG lindung tidak
seharusnya dibuka karena memiliki fungsi penting dalam pengaturan tata air,
yang dapat mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut. Hal ini kian diperburuk
dengan sikap pemerintah yang tidak transparan dalam merencanakan lokasi Food Estate. Sehingga, sulit memastikan dampak program ini terhadap lingkungan
dan masyarakat. Pun sebenarnya proyek
ini juga diprediksi dapat merugikan negara, merusak alam, dan masyarakat.
Selain itu, Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam kajian
lingkungan hidup tahun 2020, sudah menyusun strategi pemulihan ekosistem gambut.
Strategi ini meliputi perbaikan tata kelola air, rehabilitasi/revegetasi, dan
peningkatan kehidupan masyarakat setempat. Wacana ini diprediksi menjadi kunci
dalam mendukung pembangunan ketahanan pangan nasional di eks-PLG secara
berkelanjutan (Kumparan, 2020).
Komitmen pemerintah
seolah indah kala mencanangkan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Bahkan
Jokowi sampai menetapkan dua lembaga negara untuk fokus dalam perlindungan
ekosistem gambut, yakni Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta
Badan Restorasi Lahan Gambut (BRG).
Namun, publik hingga
saat ini hanya disajikan klaim capaian pemulihan berbasis hektar. Bahkan belum
ada penjelasan secara spesifik kawasan mana saja yang telah dipulihkan. Selaras
dengan itu, tak ada pula penjelasan seberapa luas kawasan yang belum dan akan dipulihkan.
Malahan, perusahaan hingga kini masih melakukan kegiatan penanaman di kawasan
gambut lindung tanpa adanya upaya perlindungan. Intinya wacana negara dan
praktek di lapangan amat berbeda!.
Bila kita merujuk rezim
sebelumnya, faktanya proyek Food Estate di negeri ini tidak pernah berakhir
manis. Salah satu bencana lingkungan hidup terbesar dalam rekam jejak Indonesia,
justru terjadi akibat “Mega Rice Project”, yang dicananangkan tahun 1995-1999. Rencana
besar Soeharto ini secara mengejutkan menjadi dalang kebakaran lahan gambut
skala besar. Malahan yang lebih menyedihkannya lagi, proyek ini gagal dan tidak
menghasilkan beras (Walhi, 2021).
Melompat ke masa Susilo
Babang Yudhoyono, giliran tanah Papua yang kini diperkosa. Kala itu proyek Merauke
Integrated Food and Energy State (MIFEE) dicanangkan. Awalnya terlihat
menjanjikan. Akan tetapi, faktanya proyek ini lagi-lagi melahirkan berbagai bencana
alih-alih manfaat, terlebih kepada Masyarakat Adat dan Orang Asli Papua.
Menurut Walhi,
kegagalan MIFEE pada rezim sebelumnya, masih tak kadung membuat jera mengulang
kebijakan Food Estate (Walhi, 2021). Akibatnya Masyarakat Adat Papua yang
menjadi korban. Mereka telah banyak merasakan ketidakadilan dalam jangka waktu
yang lama. Salah satunya adalah ketidakadilan terhadap akses kebenaran
informasi. Terutama informasi tentang kondisi hutan, tanah, dan program-program
pembangunan lainnya.
Ketidakadilan untuk
mendapat akses informasi, membawa masyarakat adat ke dalam situasi di mana
mereka mengalami kerugian. Sehingga masyarakat adat Papua berada di posisi yang
lemah setiap terjadi konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam. (Forest Watch
Indonesia, 2019)
Pembunuhan Ekosistem
Pangan
Kelapa sawit membunuh sagu
Kelapa sawit merenggut nyawa kerabat kita
Kelapa sawit mengeringkan sungai-sungai
Kelapa sawit menumpahkan darah tanah kita
Bait lagu ini disenandungkan
oleh Gerardus Gebze, seorang tetua adat Merauke saat pergi mencari sagu di
hutan milik sukunya, yang kini menjadi target perusahaan kebun kelapa sawit. Lirik
yang penuh makna ini ditafsirkan oleh Sophie Chao, antropolog dari Australia,
sebagai rasa sedih akan kehilangan. ’’Ini
menyuarakan hilangnya kerabat, rusaknya sungai-sungai serta hancurnya lanskap
yang ada. Ini menyuarakan kelaparan, rasa pilu, dan kehilangan di antara semua
mahluk hidup’’. Jelas Chao
(Tempo,
2020)
Gerardus Gebze
merupakan tetua adat dari Etnis Malind. Etnis Malind merupakan masyarakat adat
yang terdampak langsung atas proyek MIFEE. Lantun lagu ciptaan Gebze ini,
berangkat dari pelbagai penebangan hutan besar-besaran, yang mengakibatkan sumber
mata air kering dan berbagai kontradiksi yang dihadapi oleh sukunya.
Harus diakui, darurat pangan
sesungguhnya bukanlah permasalahan awam. Terlebih, krisis ini didasari oleh
politik pangan global yang menempatkan pangan sebagai komoditas. Sehingga
pemenuhan pangan diarahkan pada industrialisasi pangan.
Menilik kembali fenomena
yang telah lalu, kondisi ini tidak terlepas dari proyek rezim sebelumnya. Yakni,
revolusi hijau yang berakhir pada penyeragaman komuditas beras (Walhi, 2021).
Kebijakan politik ini mengabaikan keragaman pangan lokal, yang secara turun
temurun telah menciptakan kedaulatan pangan bagi masyarakat adat.
Arus kapitalisasi juga
mengarahkan kita pada konsumerialisasi komoditas tertentu, sehingga mematikan
kearifan lokal yang ada. Misalnya Masyarakat papua, Covid-19
dan PSBB mengakibatkan aspek keterjangkauan pangan menjadi langka. Pun, mereka yang ketergantungan akan konsumsi beras akan menjerit. Walhasil, inilah
pentingnya kembali memaksimalkan potensi pangan lokal sebagai penanganan krisis.
Tak berhenti dengan itu,
swasembada beras semasa rezim Soeharto sebagai tujuan revolusi hijau juga membawa
dampak baru yaitu diferensiasi agraria. Di mana dahulu pangan diproduksi untuk
dikonsumsi. Namun, kini pangan diproduksi hanya untuk dikomersialisasi. Pada akhirnya muncul segelintir kelompok elit yang mendapat cipratan dari proyek
swasembada Harto. Sedangkan, penikmat dari proyek semasa Orba hanya 20-30% di
pedesaan, itu pun petani kaya yang menjadi kapitalis tani dengan memperkerjakan
buruh tani.
Semasa Orba, kala panen raya mereka berswa foto sambil tersenyum sumringah. Tanpa berfikir panjang bahwa ideologi baru menyelimuti mereka—“Beras”-isasi—yang mengedepankan beras sebagai segala-galanya. Begitu pula dengan uang yang menjadi Tuhan dari semua perut yang kosong.
Dewa Saputra
Editor: Rachmad Ganta Samendawai dan Ahmad Effendi
Gemah Ripah Loh Jokowi
BalasHapus