Ilustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Sirene ambulans membuyarkan lamunannya. Tak lama lagi, sang surya akan kembali ke singgasananya dan digantikan oleh purnama.
Ia segera beranjak, membersihkan diri kemudian tanpa henti meminta agar mukjizat menghampirinya. Menyadarkan lagi seonggok manusia yang senantiasa ia jaga. Yang pada suatu hari dipaksa dunia merangkap menjadi dua.
*
Rentangan tangan ayah kuterima dengan luar biasa bahagia. Tampak pula senyum sumringah ibu ketika melihatku membawa trofi dan medali. Meski pulang hanya dengan menaiki motor butut saja, kami sama-sama merasa lega; ayah dengan pekerjaan yang baru, ibu dengan pesanan ratusan bolu, dan aku yang mendapatkan penghargaan pertamaku. Meski sepanjang jalan diam menyelimuti, namun kutau semua bersorak dalam hati.
Sesampainya di rumah, aku tak henti-hentinya berceloteh ria dan dengan bangga berkisah perihal kompetisi yang ku menangkan hari ini. Aku tetap meneruskannya, meski mereka hanya menanggapi dengan senyuman saja. Barangkali kami termasuk keluarga bahagia yang tak banyak bicara.
“Selamat ya Mbak, sebentar lagi kamu punya adik bayi.”
“Pergilah, beritahu ayah. Katakan bahwa akan ada satu tambahan nama di kartu keluarga kita.” Pinta ibu yang kemudian langsung kukabulkan.
Kulihat ayah senang bukan kepalang. Terlebih setelah mengetahui fakta, bahwa janin yang dikandung istrinya berjenis kelamin sama dengannya. Begitupun denganku yang sangat gembira dan tak sabar menunggu kelahirannya. Namun disatu sisi, aku menyadari bahwa adik laki-laki berimbas pada semua yang harus dibagi. Kehadirannya berarti bahwa ayah dan ibu tak lagi menjadi miliknya saja. Hingga di waktu yang sama, kuputuskan untuk memanjatkan doa, agar kami sekeluarga dilanggengkan dalam keadaan bertiga saja. Sebuah permohonan yang kelak memuakkan hati dan menyiksa diri sendiri.
*
Terhitung sudah ketiga kalinya ibu kehilangan buah hati yang belum sempat dilahirkannya. Entah mengapa, meski sudah berobat kesana kemari, ia tetap gagal mempertahankannya. Awalnya, aku merasa sedikit lega dan bahagia. Namun, setelah bencana yang ketiga, aku makin tak bisa menahannya. Benarkah aku penyebabnya? Aku banyak menerka, barangkali ini realisasi doa atau justru sebuah karma. Aku tak tau persisnya.
Makin hari sikap ayah pun kian menghawatirkan saja. Ia tak banyak bicara dan tak lagi mencurahkan kasih sayangnya. Lelaki itu lebih banyak bekerja dan sibuk mencari cara agar cepat kaya. Entah apa alasannya. Namun kulihat ia makin berambisi mengumpulkan harta setelah gagal mendapatkan keinginannya. Selepas istrinya gagal memelihara buah hati yang di idam-idamkannya.
Alih-alih bersedih dengan apa yang dilakukan suaminya, ibu justru makin sering bersamaku dan banyak memberi nasihat padaku.
“Nak, apapun yang terjadi ke depannya, semua kita hadapi berdua, ya? Nantinya akan tampak jelas bagaimana dunia membedakanmu. Begitupun takdir yang akan memperlakukanmu diluar batas kebiaasanmu.” Ucap ibu sambil mengusap kepalaku.
“Kuberi tau bagaimana cara menahannya meski kita tak dapat menepisnya. Karena ancaman wanita yang harus merangkap dua adalah nyata adanya.” Lanjut ibu.
Bahkan di hari-hari berikutnya, ibu makin sering mengucapkan kata ‘merangkap dua’ yang entah apa artinya.
*
Sekelebat bayangan ayah yang mengayunkan rotan, masih juga menjadi langganan. Dahulu ketika masih belia, lelaki itu sudah melabeliku tak berguna. Ia berkata bahwa aku adalah reinkarnasi dari nasib buruk ayah dan ibu. Kini, kala aku telah menginjak kelas dua SMA. Lelaki itu juga membubuhi namaku sebagai pembawa sial keluarga. Katanya, aku tak boleh besar kepala meski sudah hampir dewasa. Karena pada dasarnya aku masih dan akan tetap tak berguna.
Sedari kecil, aku juga sudah terbiasa bangun karena teriakan ibu. Bukan karena ia ingin aku segera mengawali aktivitasku, tetapi karena ulah ayah yang tanpa sebab selalu memukulnya. Serangkaian bentuk tindakan ketidakharmonisan senantiasa kusaksikan. Salah satunya ialah puncak keterlaluan yang hari ini ayah lakukan.
Dengan tiba-tiba, dia pulang membawa serta seorang wanita yang telah dinikahinya. Seorang ratu yang kelak menggantikan posisiku dan ibu. Entah kapan ia melangsungkannya, yang jelas meski tak ada yang mengizinkannya, ia akan tetap memaksa.
“Mengapa ayah memilih mendua?” tanyaku tanpa sudi memandangnya.
“Salahkan ibumu karena tak kunjung melahirkan anak laki-laki.” tandasnya sedikit tersulut emosi.
Aku tertawa miris. Hampir mirip dengan ungkapan ekspresifku yang tak percaya mendengar jawaban lelaki di hadapanku ini.
“Lalu, jika istri barumu melahirkan anak perempuan, apakah kau akan melakukan hal serupa seperti yang kau lakukan pada ibuku?”
“Kalau itu, beda cerita.” Katanya sambil berlalu menggandeng istri barunya seraya meninggalkanku.
Pernyataan Ayah, nyatanya memukulku dengan telak. Ia hanya ingin seorang bayi yang keberadaannya ku tolak kemarin hari. Rupanya aku salah mengira, hingga menyebabkan adik laki-laki yang ditunggu kita semua, harus digantikan oleh seorang wanita dewasa. Aku menyesali segalanya. Sampai pada akhirnya, hidupku hanya diliputi dua pertanyaan saja.
Mengapa ayah marah? Padahal bukan ibu yang bersalah.
Mengapa Ayah memukulnya? Padahal aku yang meminta, sehingga Tuhan tak mengabulkannya.
*
Menjelang dini hari, ia mulai merebahkan tubuhnya. Memandang sosok di depannya yang mulai keriput dimakan usia. Di gerogoti oleh ketidakadilan, karena memilih bertahan dalam pesakitan.
“Bu, mengapa ibu tak ingin bercerai?” tanyanya parau.
“Tak apa nak, ibu hanya perlu bertahan sampai kamu menikah saja. Sebentar lagi.”
“Tidakkah ibu muak dengan lelaki itu?” tanya Nara sekali lagi.
“Ibu bahkan sudah kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya. Untuk saat ini, Ibu hanya perlu merangkap menjadi dua.” Ada jeda di antara kalimatnya.
“Merangkap menjadi dua, maksudnya bagaimana?”
“Sudahlah jangan bahas ayahmu lagi, kamu akan terjaga hingga fajar jika terus menceritakan aibnya.” Lanjutnya lembut, sambil mengusap buah hatinya. Darah dagingnya. Yang dahulu ia kira akan menjadi yang paling bahagia.
Wanita itu memejamkan matanya. Menyusul Nara mengarungi dunia bawah sadarnya. Melepaskan semua kekhawatiran yang esok hari akan datang, dalam wujud yang entah bagaimana. Ia terlelap. Melupakan memar biru di punggungnya, yang mungkin esok hari akan bertambah di bagian lainnya. Barangkali pipinya, atau bahkan hatinya yang sudah lebam sejak lama. Sekali lagi, ia hanya perlu merangkap menjadi dua. Setidaknya, sampai ada seseorang yang bersedia menggantikannya menjaga putrinya.
*
Setelah melewati banyak badai yang menerpa, akhirnya Nara mendapatkan pujaannya. Ia dinikahkan dengan putra kolega ayahnya. Kali ini bukan hanya dilatar belakangi oleh urusan bisnis saja, Nara dan pasangannya memang saling mencintai.
Menginjak usia pernikahan kayu, ia telah dikaruniai dua buah hati. Seorang perempuan dan satu lagi seorang lelaki. Semuanya berbahagia, terutama Nara yang telah melupakan masa suramnya.
Segalanya berjalan persis bak petuah ibunya.
“Sendiri memang menenangkan. Namun, berdua dengan orang yang tepat jauh lebih melegakan. Meski begitu, jangan terlena karena semua wanita memiliki ancaman yang berbeda-beda.”
Keluarganya bahagia dan serba ada. Meski ia hanya lulusan SMA, tetapi anaknya menimba ilmu pada sekolah unggulan di kotanya. Dengan nominal bayaran yang diperkirakan setara dengan biaya hidupnya dahulu, selama 2 tahun lamanya. Namun kelegaannya tak berlangsung lama. Sampai akhirnya ancaman yang dia khawatirkan benar-benar mendatanginya.
Sang ayah mertua dengan tiba-tiba memaksa agar suaminya mencari yang kedua. Dengan dalih bahwa ayah kandungnya juga sama-sama melakukannya. Maka sudah sepantasnya Nara menormalisasinya. Sungguh ia tak dapat berbuat apa-apa, karena suaminya sepertinya tak mungkin menolaknya. Tentu saja, lelaki mana yang akan menepis tawaran manis di depan matanya.
Di tengah huru-hara rumah tangganya, ia kembali ditimpa kabar yang membuatnya berduka. Ibunya dikabarkan koma, dan membutuhkan banyak biaya. Namun, ketika Nara meminta suaminya melunasinya, lelaki itu sama sekali enggan mengeluarkan uangnya.
Ia mulai menangis histeris, namun suaminya tetap hening. Ketika dia memilih bersimpuh, lelaki tersebut tetap tak bergeming. Ia pikir tindakannya dapat mengembalikan semua pada tatanan yang semestinya. Namun, ternyata tak ada yang berbeda. Suaminya seolah tinggal rupa saja.
Ia laksana menjadi ibunya versi kedua. Dengan cerita yang sedikit berbeda, namun dengan posisi yang sama yaitu sebagai pemeran utama.
*
Dari dahulu, ibu selalu menasihatiku perihal relasi pria dan merangkap dua. Kupikir keduanya hanya karangan ibu yang membuat otakku makin rancu. Namun, hari ini telah kutemukan jawabannya. Sederet peristiwa membuatku membuka mata, bahwa merangkap dua bukan hanya berbicara tentang patriarki atau genderisasi saja. Merangkap dua juga tak mesti bermakna seorang wanita yang menjadi ibu rumah tangga, kemudian merangkap juga menjadi kepala keluarga.
Kalimat ibu ternyata terjadi bukan sebagai sebab dari cinta,setia,materi, maupun semua yang bersifat menguji. Melainkan memang takdir yang tak bisa membebaskan keturunan hawa dari dua kata penuh makna, karena pada hakikatnya kaum adam memang diciptakan begitu adanya. Sesekali mereka berusaha membuat bahagia dan kadang kala bersikap semena-mena. Barangkali memang semua wanita, tak luput dari ancaman merangkap menjadi dua.
Arina Maqshurotin F
Editor: Rohmawati