Ilustrasi: Farras Pradana |
Ada tiga cara untuk menghancurkan suatu bangsa yaitu: 1) kaburkan sejarahnya, 2) hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa, dan 3) putuskan hubungan mereka dari leluhur yang dianggap bodoh dan primitif.
(Juri Lina dalam buku "Architects of Deception")
Bagi yang bergelut dalam dunia sejarah, akan lazim menemukan satu peristiwa dengan ribuan perspektif. Hal ini dalam berbagai konteks tergantung dari sudut pandang, temporalitas atau rentang waktu, valid dan relevannya sumber, serta di ruang spasial mana peristiwa tersebut terjadi. Sejarawan juga harus melapangkan banyak pemakluman bila dalam satu pembabakan dari beberapa tahap evolusi historiografi selalu dilandasi oleh zeitgeist dan ikatan budayanya (kulturgebundenheit).
Hal ini dapat dilihat gamblang, misalnya ketika berbicara tentang konvensi sebuah studi sejarah di Perancis yang lebih banyak dipengaruhi mahdzab annales pada abad ke-20. Dengan gebrakan dari karya Braudel tentang sejarah Lautan Tengah, Le Roy Ladurei tentang sejarah lokal, dan Goubert dengan sejarah rakyat Prancis di bawah Louis ke XIV. Mampu mendominasi warna sejarah lokal Perancis yang awalnya menitikberatkan pada penguasa kini didominasi oleh sejarah sosial jangka panjang yang menjadikan rakyat sebagai titik porosnya (Lombard: 2008).
Sejarah memiliki ribuan faedah bagi yang mempelajarinya, bahkan dari ilmu ini kita dapat mensyukuri maupun menjadi bahan untuk berbangga pada peradaban yang kita miliki. Hal yang selaras pernah dituturkan oleh Leopold von Ranke bahwa “no document, no history” (tidak ada dokumen, tidak ada sejarah). Setidaknya bukan tanpa alasan para sejarawan memberikan satu ruang kecil dari salah satu pembabakan historiografi modern hanya untuk mendeskripsikan peradaban Eropa. Lengkap, yang dimulai sejak peradaban Yunani/Romawi (dikenal kemudian dengan semangat Hellenisme).
Sebenarnya, bukannya menyebut bahwa peradaban pertama di Mesopotamia, Mesir Kuno, China, ataupun tempat lain tidak termasuk genre modern. Akan tetapi jika ditilik lebih dalam, memang perkembangan awal tulisan sejarah di Eropa bisa ditemukan. Tulisan sejarah pertama ditulis dalam bentuk puisi seperti karya Homerus Illiad dan Odyses yang menceritakan perang antara Yunani dengan Troya. Walaupun masih bersifat mitos dan kurang ilmiah, dapat dilihat bahwa julukan Hellenisme ini memang patut disandang sebab adanya dokumen penulisan sejarah yang menguatkan (Hamid & Madjid: 2015). Berbeda ketika berbicara tentang penulisan sejarah peradaban lain yang sifatnya masih misteri atau sekadar interpretasi. Misalnya, tentang pembangunan sphinx yang banyak menuai kontroversi atau kacamata yang memandang kodex Hammurabi sebagai tindakan amoral.
Namun, penulisan sejarah pun perlu untuk dikaji ulang oleh para penerusnya. Kemegahan Hellenisme akhirnya terkikis akibat zeigeist teolog dogma gereja. Segala warisan dan rasionalitas yang diturunkan oleh Yunani mengalami diskontinuitas dan digantikan oleh ajaran scholastik. Generasi abad pertengahan atau marak dikenal abad kegelapan, memang tidak mengizinkan akses untuk meneruskan bahkan mengingat kembali ilmu pengetahuan peradaban Yunani. Hal yang terjadi malah sebaliknya yakni mereka larut dalam dogma gereja yang nyaris tidak masuk akal dan banyak menguntungkan Paus.
Pembantaian rasionalitas ini bisa dilihat dari beberapa ilmuwan yang menyandang stigma sesat secara Kristen. Misal, kisah astronom Prusia bernama Nicolaus Copernicus yang memformulasikan model tata surya sebagai pusat tata surya dalam buku ”De revolutionibus orbium coelestium” atau Revolusi Falak. Teori ini lantas membuat pihak gereja naik pitam sebab teorinya yang berlainan dengan dogma. Ini menyebabkan hidupnya diakhiri dengan pengiriman lembaran hitam oleh gereja.
Ada lagi cerita Giordano Bruno yang mendukung teori Copernicus dan menghasilkan teori bahwa bintang hanyalah matahari yang dikelilingi exoplanet. Mendengar hal ini. tanpa inkuisi atau pertimbangan lebih lanjut, pihak gereja menjebloskannya ke penjara dan memvonis hukuman mati dibakar hidup-hidup di Campo de Fiori, alun-alun utama kota Roma. Sebenarnya masih banyak kisah yang membuat para sejarawan memang tidak pernah keliru mendeskripsikan zaman ini sebagai kegelapan. Faktor ini tentunya tidak terlepas dari sejarah ilmu pengetahuan yang tidak dikembangkan secara kontinu.
Sementara di Eropa masih dihinggapi oleh kegelapan, lain lagi dengan peradaban Islam yang mencapai kejayaannya. Peradaban Islam berhasil menjaga kontinuitas tradisi dan menambahkan pengetahuan akan inovasi di zaman tersebut yang relevan. Tentunya, tanpa mengingat pendahulunya untuk memperbaiki apa saja yang kurang dan perlu direvisi tidak akan tampil peradaban Islam yang begitu megahnya. Saking indahnya, sampai membuat para Eropa memikirkan ilham untuk kembali meneruskan warisan pengetahuan dari Yunani (Hellenisme) hingga puncaknya terjadi paham kapitalisme, kolonialisme dan semangat 3G (Gold, Glori, dan Gospel).
Memang dasarnya kontinuitas tempo antara masa lalu, kini dan yang akan datang tidak boleh terputus. Hal ini bisa ditemukan ketika kita belajar sejarah yang menjadi jembatan antar 3 masa. Dengan memandang pada masa lalu, bukannya sejarawan adalah orang yang pandai meramal sehingga mendewakan Jayabaya dan berbagai tinggalan babad. Tidak akan ada konsistensi ketika berhadapan dengan dinamika masyarakat yang memiliki banyak gejala dahsyat dan anomali tak terprediksi.
Akan tetapi, setidaknya kita bisa mengantisipasi dan mengetahui gambaran abstrak mengenai situasi ke depan. Misalnya, Kuntowijoyo memaparkan mengenai desa-desa prasejarah dan agraris merupakan kenyataan yang nyaris tak terbantahkan untuk meramalkan masa depan masyarakat industrial dan pasca-industrial. Boleh jadi desa-desa prasejarah, semacam desa yang melingkupi Sangiran akan menjadi desa lindung. Sementara desa agraris dapat menjadi desa ekonomis jika masih bertahan di tengah dualisme ekonomi tinggalan kolonial (Kuntowijoyo: 2013).
Tugas sejarawan memang memberi pertimbangan berdasarkan sejarah perbandingan, pararelisme sejarah ataupun evolusi. Dengan alasan setiap spasial memiliki masa yang berbeda, maka dasar itulah penulis mengutip dari apa yang dicontohkan oleh Kuntowijoyo tentang pertimbangan sejarawan yang mengkaji pembangunan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI). Ketidakberuntungan saudara kita di timur Indonesia mengalami kontinuitas bahkan sejak kolonial. Zaman Belanda, Jawa-Madura mendapatkan perhatian lebih baik dari pemerintah ataupun swasta, Sumatra dijadikan ranah perkebunan yang pengusahanya mengikuti aturan Pax Nederlandica, sementara Jawa bagian Timur menjadi garis depan pengembangan ekonomi kolonial abad ke-19.
Kemudian, pemerataan pembangunan yang telah dicanangkan semenjak Pelita V masa Soeharto tidak pernah menunjukkan secercah harapan. Isu ketimpangan dalam berbagai sektor tetap menjangkit bila membandingkan Indonesia bagian Barat dan Timur. Kekhawatiran muncul ketika berbicara di Amerika Serikat pernah terjadi pertentangan antara kaum industrialis di timur dan petani di barat yang dikobarkan oleh pengusaha swasta dalam upaya penaklukan daerah eksploitasi abad ke-18 dan 19 (Kuntowijoyo: 2013). Jika hal serupa terjadi di Indonesia, boleh jadi daerah Barat mengeksploitasi ekonomi Timur sehingga kelanggengan akan ketimpangan ekonomi merupakan suatu keniscayaan. Untuk itu, sejarah dapat dijadikan bahan pertimbangan dan pengaturan strategi untuk menghindari kejadian tak diinginkan seperti yang terjadi di masa lampau.
Sekali lagi biarpun kegunaan sejarah tidak bisa disebutkan secara detail dalam tulisan ini sebab akan memakan lembar yang berjilid-jilid. Akan tetapi, sejarah bukan ilmu tanpa konotasi buruk yang harus diakui kebenarannya. Khazanah interpretasi yang kita nikmati adalah gejala inkonsistensi tergantung banyaknya sumber dan kecanggihan alat untuk mengulik peristiwa sejarah. Walaupun Leopold von Ranke (1895-1886) pernah mengonstruksi supaya sejarawan hanya menulis “apa yang sesungguhnya terjadi”, sejarah tidak akan bisa benar-benar objektif seperti yang diinginkan sebab banyak faktor baik kedekatan emosional, intelektual, lokosentrik, gaya bahasa dan lainnya.
Selain kontinuitas akan kemegahan pengalaman dan pengetahuan, juga stigma sejarah pesanan merupakan hal yang berkelanjutan adanya. Barangkali kita memandang historiografi tradisional yang didominasi oleh babad, hikayat dan prasasti sebagai bentuk legitimasi pesanan penguasa. Hal ini dengan maksud agar masyarakat percaya dan yakin bahwa penguasa adalah titisan dewa bagi agama Hindu, khalifatullah di Islam dan cakravatin dalam Buddha. Tentu saja didukung oleh punggawa dan pendetanya, raja bisa membangun konstruksi jembatan gaib yang dianggap kramat oleh rakyat. Situasi ini bisa dilihat dari lebih mahsyurnya kitab Nagarakartagama dibanding Pararaton masa pemerintahan Hayam Wuruk. Pengaburan Pararaton yang entah dikarang oleh siapa, sebenarnya dapat dijadikan bukti kritis bahwa bukan hanya intrik 7 turunan pembunuhan trah Singasari oleh keris Empu Gandring yang berusaha disembunyikan oleh Majapahit tetapi masih banyak lagi.
Ada lagi di masa Kesultanan Islam di Demak yang terkenal dengan masa Wali Sanga sedang gencar-gencarnya melakukan dakwah Islam dengan mengakulturasikan tradisi lokal. Tidak bisa disamarkan peran ulama dewan wali dalam menyebarluaskan Islam di Tanah Jawa. Sebab, realitanya penduduk Jawa yang kental tradisi dapat didominasi oleh muslim. Gejala kritis muncul semenjak adanya dakwah tandingan Siti Jenar yang dianggap sesat. Hal ini karena menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintahan Demak dan ajaran kontroversial manunggaling kawula gusti yang anti-mainstream. Di banyak cerita sejarah bahkan hingga sekarang hanya satu atau dua orang yang berani mengaku sebagai pengikut benar-benar dari Siti Jenar. Kisah pembunuhan Siti Jenar yang divonis hukuman mati oleh Wali Sanga sangat klasik didengar oleh masyarakat nusantara. Berbeda dengan suksesi saudara Arya Penangsang dan Hadiwijaya yang sedikit banyak diintervensi oleh beberapa ulama dewan wali. Bahkan hingga nyaris kabur oleh sejarah kilau jasanya dalam mengislamkan Jawa.
Tidak hanya berhenti sampai disitu, subjektivitas pesanan pun tetap marak di masa kontemporer. Tentunya untuk mengingat kepemimpinan Soeharto yang penuh dengan rekam jejak hitam dan putih. Konsepsi dikotomi selalu muncul memandangnya sabagai bapak pembangunan di satu sisi dan pemimpin diktaktor di sisi yang lain. Sejarah tidak pernah mengupas secara gamblang tentang kecacatan kebijakan selama beliau memimpin. Barangkali berbagai tragedi salah satunya adalah petrus (penembakan misterius) memburamkan semua kacamata yang memandang dalam konotasi negatif. Ada juga misteri tersedia atau tidaknya supersemar yang menentukan pergantian kekuasaan dari Soekarno dan Soeharto. Dalam hal ini memang tidak dapat dipungkiri dengan dalih apapun memang latar belakang penulisan sejarah tidak selalu murni adanya dan dipaksa untuk lurus bagi keutuhan suatu rezim.
Berbagai narasi sejarah yang penulis percontohkan di atas barangkali dapat pembaca jadikan acuan untuk menilai tentang subjektivitas dan objektivitas penulisan sejarah. Dimana memang harus banyak dimaklumkan mengingat manusia adalah makhluk yang lengkap dengan segala keterbatasannya. Presiden ketiga Uni Soviet, Nikita Kruschev pernah mengemukakan bahwa satu-satunya kelompok yang dapat mempertanyakan legitimasi penguasa adalah sejarawan. Dengan dokumen primer yang dimiliki maka, sejarawan dapat mengungkap berbagai rekonstruksi peristiwa politik tanpa bisa dibantah.
Sebagai generasi yang cerdas ada baiknya kita belajar sejarah apapun passion dan jalan hidupnya. Sebab guru terbaik adalah pengalaman sehingga tanpa masa lalu kita akan menjadi orang yang jatuh pada lubang serupa. Berbagai macam perspektif hendaknya dijadikan sebagai khazanah pengetahuan dan ladang hikmah. Oleh karena itu, sejarah bisa menjadikan kita manusia yang berpikir.
Roro Wilis
Editor: Rientania Nuhanida