Ilustrasi: Farras Pradana |
“Mumbang jatuh kelapa jatuh. Manusia tak berkawan usia. Ada yang berjalan, ada yang berlari, berlomba menuju tua”
Telingaku panas dan darahku hampir mendidih. Bagaimana bisa mereka mengejekku sebagai perawan tua, apakah mulutnya tak pernah disekolahkan?! Peduli apa mereka, pada hidupku selain hanya ingin menjadikannya bahan tertawaan. Namun kan yang penting aku tetap awet muda. Banyak pula yang menyanjung kecantikanku abadi, dan memang begitu.
*
Aku berjalan kearah cermin, berdiri dihadapannya dan menelisik ke dalam. Tidak juga aku temukan kekurangan. Mata belo, hidung mancung, alis tebal, dan wajah tirus. Apalagi yang perlu diperbaiki Tidak ada, hanya perlu sedikit perawatan untuk menghilangkan keriput. Sempat mendapat predikat kembang desa, dan digandrungi banyak lelaki, namun ah tak ada yang pantas untuk bersanding dengan wanita secantik aku.
Waktu berjalan cepat, dia berlari ketika aku asik menikmati perjalanan. Dan aku tersadar ketika melihat teman-temanku juga berlari. Pikiranku mulai dikoyak seperti perahu ditengah badai. Predikat kembang desa berubah menjadi perawan tua. Jelas dan keras, predikat itu disematkan kepadaku ketika menghadiri reuni. Kepalaku pening tiap kali mengingat hal itu, semakin pening dan hampir meledak.
Dan setelah kejadian itu, beberapa hari ini aku dirundung ketakutan tiap kali melihat keluar jendela, ketika Priyadi dan Siti, teman masa kecil yang kini menjadi tetangga baruku, asik bercanda gurau dengan anak anak mereka saat membersihkan halaman rumahnya, Si Sulung menyapu dedaunan yang berserakan dan Si Bungsu membantu Siti menjemur pakaian, sementara Priyadi memanaskan motornya. Sedang aku hanya mampu memperhatikan mereka dari balik jendela.
*
Seperti fajar yang menunggu malam pergi berlalu, begitu pula nenek. Tiap pagi buta kulihat ia selalu duduk di kursi panjang ruang tamu. Lalu mencabuti helaian rambut putih yang menjulai panjang di punggungnya yang bungkuk. Terlihat kusut dan bercabang karena hanya keramas sebulan sekali. Namun dibandingkan denganku yang keramas tiap dua hari sekali, dan tumbuh sangat lambat, rambut nenek jauh lebih lebat karena tak pernah habis meski berkali kali dicabuti.
Nenek bagaikan rumah bagi seorang yatim piatu sepertiku, dahulu rumah ini kokoh dan tahan badai. Namun kini bagaikan rumah yang hampir roboh, tubuhnya sisa tulang belulang. Aku kadang cemas perihal kesehatannya, namun lebih cemas ketika memikirkan kapankah dia harus pergi. Lalu membayangkan sebatang kara di dunia yang luas ini. Maka dari itu, terkadang aku berdoa pada Tuhan untuk menyusul orang tuaku lebih dahulu. Tak jarang pula aku sengaja untuk melamun ketika menyeberang jalan, meminum obat melebihi dosis, dan menyilet-nyilet urat nadi. Namun aku rasa dia begitu menikmati menonton hidupku yang gelap suram, bahkan terkadang menambahi bumbu-bumbu duka yang menjadikannya lebih seru untuk ditonton seperti sebuah kisah dan tragedi di televisi.
Ada suatu hari ketika nenek melakukan hobinya yaitu mencabuti rambutnya dan memasukannya kedalam mangkuk, ia bergumam, “Kamu gak mau rabi toh, Ndhuk?” dan aku hanya menggeleng. Dia melanjutkan mencepol rambutnya, “Usia mung perihal angka, tapi kematian iku mutlak” ucapnya. Dan aku tersenyum getir.
Lalu pagi ini seperti biasa, kami memulai ritual masak memasak. “Hari ini masak spesial” ucap nenek
“Masak apa toh, Nek? Kok spesial?”
“Masak hidangan yang belum pernah nenek sajikan buat orang tuamu karena mereka modhar duluan.”
Uap panas membumbung tinggi ke atap rumah diantara minyak yang meletup-letup, wajan dan panci berbaris diatas kompor, dan menciptakan irama yang mengundang cacing dalam perut. Sementara seperti perintah nenek, tanganku lincah memotong bawang, mataku mulai berair pedih. Dan lagi lagi nenek tengah mencabuti rambutnya yang putih, lalu mengumpulkannya dalam sebuah mangkuk yang sama. Aku tak heran, karena sejak kecil memang sering melihat nenek melakukannya, itu memang hobinya.
“Cepat masukan bawang dan cabai yang banyak, Ndhuk” tangannya mencolek tanganku.
“Kenapa banyak sekali yang dimasukan toh, Nek?”
“Agar diberkahi oleh tangis pedih dan bahagia,” lalu kakinya lirih melangkah mendekati kompor. “Tambahkan gula dan garam,” ucapnya.
Kuambilkan dua buah wadah kecil yang hampir mirip karena isinya sama-sama berwarna putih, “Kalo ini untuk apa?” aku bertanya sambil menyodorkan wadah-wadah itu.
“Yo ben seimbang. Kemanisan yo gak baik, keasinan yo gak enak” katanya mengambil sejumput-jumput, diaduknya lagi. Namun kali ini berbeda dan aku kebingungan. Dia merapalkan beberapa doa seperti sebuah mantra panjang usia, disemburnya kedalam gelas berisi air, dan memasukannya kedalam wajan.
Aroma masakan ini harum sekali seperti tanah yang lama kering dan kini basah. Nenek mengambil mangkuk berisi rambut putih yang telah lama dia cabuti dari kepalanya, lalu menuangkan kedalam wajan panas itu, mengaduknya bersama bawang, cabai, gula, dan garam lalu menyajikannya dalam sebuah mangkuk bening.
Selesai memasak dan mencuci wajan, aku bergegas menuju meja makan. Mengambil secentong nasi dan mangkuk bening berisi hidangan rambut nenek, lalu melahapnya. Ke esokan harinya rambutku mulai memutih.
*
Semakin hari, putih dirambutku makin banyak, seperti beranak pinang. Aku amati dari balik cermin, dan aku tersenyum. Lalu mulai merapikannya, dari ubun hingga ujung. Mengusap air mata yang tak diundang juga meraba garis garis keriput yang berjejer saat tersenyum.
Dan Rabu Pon, ketika Siti merayakan hari ulang tahunnya dengan membagikan nasi kuning kepada para tetangga, termasuk aku. Sebagai wujud menghormati, aku terima nasi kuning tersebut. Namun aku juga mengiriminya sebuah mangkuk bening berisi hidangan rambutku, ke esokan harinya rambut Siti mulai memutih. Kulihat pula Priyadi menyisiri rambut istrinya itu lalu mengecup keningnya.
Tahun berikutnya, aku menghadiri reuni yang sama seperti tahun lalu, aku hidangkan sebuah mangkuk bening hidangan rambutku, dan ke esokannya rambut teman-temanku mulai memutih. Ada yang menangis histeris, ada yang pergi ke salon, ada yang justru menertawai dirinya, namun ada pula yang dipanggil Tuhan setelah itu.
Benar kata nenek, usia hanya perihal angka tapi kematian itu mutlak. Maka dari itu aku tak lagi memusingkan apakah besok aku masih bisa makan atau tidak, karena aku sudah menikmati resep hidangan rambut nenek.
Tinta Mutiara Nissa
Editor: Rohmawati dan Akmal Firmansyah