Ilustrasi: Farras Pradana |
I
Keterangan galib yang terbata mengisahkan
segepok bacok pada bonggol pisang di
pojokan halaman
sama seperti burung dara yang hinggap di
atas genting tua berlumut.
Apatah deklerer lewati rumput halaman
berembun sehabis kejora lewat berdenyar?
Struktur yang terbingkai bayangan ini jelas
lebih pudar dari warna merah mekar
sebuah bunga dari tetumbuhan sepatu yang
menjadi pagar
Apalagi mitos sesosok raksasa bercelana kolor
yang tak kelar mendiami pohon jambu besar
di kebon belakang
Serupa insan purba yang membenturkan dua
batu menjadi cinta
ketika Dubois menggali rangkanya
Begitu juga dua hawa yang merembes lalui
paku pertama di permukaan genting-genting tua
yang dulu pernah dibenarkan ulang olah
Hatta dan kawan-kawan yang masih setia
Ritus sepasang lelaki yang berusaha
menjelajahi tubuh sampoerna
dengan sebatang kretek pahit karena cengkeh
telah dijemput keluar waktu Hindia
Paku kedua yang dicopoti pada masa bumi
hangus revolusi
Deklinasi yang terlewatkan imaji facebook,
twitter, dan instagram
Bersiap, yang direkam anonim Tjamboek
Berdoeri dalam api dan bara Indonesia
Menghitung detik, enam ribu lima ratus mati
dan menit, enam belas ribu hilang tidak
jelas
dan jam-jam pasca sesudahnya yang
mengakhiri tanpa jeda durasi kiri
Tangan yang mengakhiri aku dan kamu di
bawah rumah ini
dengan tiga pasak yang menguatkan setiap
sambungan kayu
Dan diantara yang masih kamu
membuang empat pasak yang terbuat dari
bambu
dan rumah yang kita impikan sekan runtuh
tapi aku masih dipelukanmu
Di hari-hari paling senyap dalam riwayat
rumah kita
Tengoklah ke belakang meribak lewati dapur
II
Terbayang
reng-reng bambu di atasku akan jatuh menimpa seluruh tubuh yang kugelar
di atas lantai tanah. Karena rumah belum juga diplester, apalagi dikeramik,
genting-genting tua coklat berlumut berserakan di antara tubuh cinta. Hujan
deras seperti panggilan mogok buruh-buruh pelabuhan, yang kusaksikan lewat
Indonesia Calling. Buatkan kopi tubruk untuk Joris Ivens, sebelum punguti
serpihan-serpihan. Dan bawa baskom untuk menadahi tetesan hujan.
III
Dalam pengap yang selama ini membisu
Diguncang-guncang asisten residen baru
senggama penuh hasrat di atasku
sebuah dipan kayu
di pojokan kamar dengan kelamin
yang tak layu
Multatuli mengakhiri penetrasi
lewat kelaminnya: Max Havelaar
seprai yang baru akan digelar
sebab alas yang lama penuh sperma
dan kumal
dan si perempuan sundal resah
aku tetap tidak berubah
sebuah dipan kayu yang diguncang-guncang
hingga masa sekarang
Kulon Progo, 2019
=======
Catatan: Puisi ini pertama kali dimuat di Zine Semiotika #1 edisi Mei 2021 yang diprakarsai oleh Departemen Karispol BEM FIS UNY.
Farras Pradana
Editor: Kedrick Azman