Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Raden Mas Suryo Suparto adalah nama kecilnya, sedangkan KGPAA Mangkunegara VII adalah gelar ningratnya. Ia menjadi satu dari sekian priyayi yang aktif di Budi Utomo, bahkan ia didapuk menjadi ketua umum. Sebelum ikut organisasi pergerakan tersebut, ia pernah keluar dari istana karena silang pendapat dengan Mangkunegara VI, pamannya sendiri. Pemantiknya adalah keinginan untuk mengenyam bangku pendidikan yang lebih tinggi tidak diizinkan. Berkat usaha keras, ia akhirnya berhasil melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda. Disana, RM Suryo Suparto berkawan karib dengan Pangeran Notodirojo serta RM Noto Suroto (Bunayya, 2014: 59-60).
Sewaktu memerintah, Mangkunegara VI mempunyai pemikiran
progresif yang berusaha mereformasi kehidupan di wilayahnya. Cara yang ditempuh
antara lain mendirikan lembaga pendidikan formal. Hal ini seiring kebijakan
pelaksanaan politik etis -salah satunya edukasi- oleh pemerintah kolonial
sebagai imbalan jasa kepada penduduk bumiputra. Sekolah pun mulai tumbuh dengan suburnya. Pada saat pendidikan di
praja menapaki jalan ke arah kemajuan, secara mengejutkan Mangkunegara VI
memutuskan untuk lengser keprabon. Konflik internal istana disinyalir
menjadi musabab ia mengambil langkah tersebut.
RM Suryo Suparto lalu naik takhta guna melanjutkan
kekosongan di pucuk kekuasaan. Rupanya ia memiliki pandangan sama dengan
pamannya perihal pemajuan sumber daya manusia. Pendidikan mendapatkan prioritas
utama dalam kebijakannya. Sekolah yang telah berdiri sejak Mangkunegara VI
didukung penuh agar berkembang. Sebut saja Sekolah Siswo. Sekolah ini
banyak diisi anak laki-laki dari golongan sentono dalem dan abdi dalem. Mereka
diberikan materi membaca, menulis (dalam bahasa Jawa dan Melayu), berhitung, ilmu alam hingga
sejarah. Keberadaan Sekolah Siswo bertujuan
mencetak tenaga administrasi murah untuk kepentingan perusahaan gula di
Kadipaten Mangkunegaran.
Sekolah Siswo berubah menjadi Sekolah Ongko Siji pada 1912
dengan lama studi 6 tahun sesuai instruksi pemerintah Kolonial. Dua tahun berselang, nama Sekolah Ongko Siji
berganti nama lagi. Kali ini nama yang dipakai ialah HIS Siswo. Melalui Staatsblaad
Tahun 1914
nomor 359, pemerintah mengukur stratifikasi
sosial orang tua yang ingin memasukkan anaknya ke HIS. Orang tua dari
golongan A (bangsawan) dan golongan B (tamatan MULO atau Kweekschool
ke atas) memiliki kans lebih besar daripada golongan C (pegawai rendah,
militer, petani serta tamatan HIS). Penghasilan orang tua juga dijadikan
bahan pertimbangan. Pengkategorian ini menandakan pendidikan masih belum
sepenuhnya merata (Wibowo, 2011: 228).
Jika Sekolah Siswo didominasi kaum adam, lain
halnya dengan Sekolah Siswo Rini. Sekolah ini diperuntukkan bagi kaum
perempuan. Kerabat dan abdi dalem Kadipaten mendapat
akses utama. Orang luar dapat pula mengecap pendidikan disini apabila kuota
belum terpenuhi. Materi yang diajarkan mencakup membaca, menulis,
berhitung serta keterampilan dalam hal kerumahtanggaan. Halaman Pura
Mangkunegaran menjadi tempat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Pada
tahun 1923, Mangkunegara VII memutuskan menutup Siswo Rini dan
menggantinya dengan Huishoud Cursus Siswo Rini atau Kursus
Kerumahtanggaan.
Huishoud Cursus
Siswo Rini
dalam perkembangan selanjutnya menjalin kerja sama dengan Van Deventer
School, sebuah sekolah partikelir terkemuka. Sekolah keputrian yang disebut
terakhir ini didirikan atas prakarsa Mangkunegara VII karena merasa pendidikan
tidak memandang jenis kelamin, dalam artian perempuan dan laki-laki boleh
bersekolah. Di sisi lain, sekolah ini merupakan bukti bahwa Mangkunegara VII menghormati jasa
besar van Deventer dalam menyuarakan politik etis.
Mangkunegara VII
juga merestui penggunaan Pendopo Agung berikut set gamelan untuk latihan
keterampilan seni. Para siswi ditempa secara langsung oleh GKR Timur. Putri
dari Mangkunegara VII diketahui pernah juga menempuh
pendidikan di Huishoud Cursus Siswo Rini.
Sebagai bentuk dukungan lanjut, pihak Mangkunegaran memberikan beasiswa (studiefonds)
kepada siswi yang memenuhi persyaratan. Dalam rentang tahun 1926-1935, sebanyak
16 siswi Van Deventer School berhasil memperoleh beasiswa. Sebelas dari
total penerima studiefonds dapat menuntaskan pendidikan, sedang lima
orang tidak menamatkan sekolahnya (Jati, 2011: 67-68).
Tidak hanya di
wilayah inti saja, Mangkunegara VII juga berusaha mengembangkan pendidikan bagi
kalangan rakyat biasa di desa. Sebagai bukti, Mangkunegaran membangun Sekolah
Desa (Volkschool). Dana pembangunan gedung, pengadaan buku, perlengkapan
kelas, dan gaji pengajar berasal dari kas praja. Bahasa Jawa dipilih sebagai
bahasa pengantar mengingat rakyat kebanyakan belum fasih berbahasa Belanda.
Mula-mula, Sekolah Desa berjumlah 19 unit, kemudian mengalami perkembangan
signifikan menjadi 53 sekolah (1927), 79 sekolah (1930), dan 81 sekolah (1931).
Tahun 1935 tercatat sebagai tahun di mana Sekolah Desa mencapai jumlah
terbanyak hingga menyentuh angka 103 sekolah (Asti, 2019: 20). Selain itu,
disediakan pula sekolah lanjutan Vervolgschool selama dua tahun bagi
yang sudah menamatkan studi.
Mangkunegara VII
melihat pendidikan dasar di wilayahnya menuai sukses. Oleh karena itu, ia
mengajukan permohonan kepada pemerintah Kolonial
supaya diberi izin memperluas jenjang pendidikan menengah. Alasannya agar ada
sekolah yang menampung lulusan Volkschool maupun Vervolgschool dengan
biaya minimum. Permohonan ini disetujui saat Inheemse Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs School Mangkunegaran diresmikan tepat pada tanggal 1 Agustus
1939. Siswa yang hendak masuk harus berusia kurang lebih 16 tahun. Sekolah ini
mengenakan biaya sebesar f. 1 dan f. 0,20 per siswa untuk menyewa buku-buku
pelajaran.
Sekolah kurang
lengkap tanpa keberadaan sumber literatur bacaan. Mangkunegara VII memahami hal
ini sehingga dibuatlah sebuah perpustakaan baru. Bertempat di depan gedung
pertemuan Mangkunegaran, perpustakaan ini diberi nama Sono Pustoko. Bila
Rekso Pustoko hanya bisa diakses oleh kalangan bangsawan, Sono
Pustoko bersifat terbuka bagi masyarakat umum.
Selanjutnya, Noto Suroto
ditunjuk sebagai pengelola. Dilansir dari Historia.id, literatur koleksi
perpustakaan mencakup koran, majalah, dan buku berbahasa Belanda (sejumlah 1.727 buah), berbahasa Jawa (193 buah), berbahasa Melayu (300 buah), berbahasa Sunda (300 buah) serta hampir 500 buah buku lainnya.
Yoga Hanindyatama
Editor: Rientania Nuhanida S.