Ilustrasi: Farras Pradana |
Seiring berakhirnya Ujian Akhir Semester (UAS) di penghujung bulan Juni, berakhir pula lembaran semester empat yang ia tempuh secara daring. Kini, Lupi (bukan nama sebenarnya) beralih fokus mempersiapkan semester depan. Hal pertama yang dipikirkannya, adalah membayar biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan biaya kuliah Semester Pendek (SP) yang “diwajibkan” program studinya.
Dalam mengurus pembayaran UKT, Lupi berserta mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) lainnya berpatok pada Surat Edaran (SE) Nomor 21/SE/2021. SE tersebut, kurang lebih menjelaskan tenggat pembayaran dan penyesuaian UKT.
Berdasarkan SE itu, terhitung sejak awal Juli, Lupi sesungguhnya masih punya waktu lama untuk membayar UKT. Sayangnya, ia tidak punya waktu untuk bersantai-santai. Saat dihubungi wartawan Philosofis pada 1 Juli via Whatsapp, ia tengah mempersiapkan berkas penyesuaian UKT. Salah satu kebijakan yang tertuang dalam SE di atas, dan diperjelas dengan Surat Keputusan (SK) RektorNomor 1.23/UN34/VI 2021.
Bukan kali ini saja ia melakukan penyesuaian UKT, semester sebelumnya ia juga menjalani hal yang sama. Melalui skema penyesuaian tersebut, UKT-nya turun satu golongan. Dari kewajiban membayar sebesar Rp 3.145.000, turun menjadi Rp 2.400.000. Perlu diketahui, ia mendapatkan UKT golongan IV karena dirinya berasal dari jalur Seleksi Mandiri (SM) saat masuk ke UNY.
Pada pembayaran semester genap 2020/2021 lalu, Lupi masih mampu membayar UKT yang telah disesuaikan. Hal ini dimungkinkan dengan adanya tabungan ayahnya. Tabungan yang menopang kebutuhan keluarga, sejak sang ayah dirumahkan. Selain dari tabungan, ia juga menggenapi biaya UKT semester dengan gaji dari bekerja sebagai admin media sosial. Sebuah pekerjaan yang ia lakoni sejak Juli 2020, dan masih bertahan hingga sekarang. Gaji yang ia terima setiap bulannya dari pekerjaan itu, kurang lebih sebesar Rp. 700.000.
Kini, kondisinya sudah jauh berubah dari setengah tahun lalu. Tabungan sang ayah semakin menipis lantaran terus digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sementara sang ayah, hampir menganggur selama setahun dan baru mendapatkan pekerjaan pada bulan Juni 2021. Ayahnya bekerja sebagai sopir dengan gaji kurang lebih Rp. 1.000.000 setiap bulannya. Jumlah yang kemudian diprioritaskan untuk melangsungkan hajat hidup keluarga.
Masalah yang dialami Lupi, dapat dijelaskan dengan survei yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNY 2020. Dari survei yang dilakukan, ada penurunan penghasilan keluarga sebesar 43,60 persen dari sebelum pandemi Covid-19. Sedangkan pengeluarkan keluarga selama pandemi cenderung sama.
Survei itu dilakukan dengan total 1.757 responden, dengan keterwakilan prodi, fakultas, dan golongan UKT mencapai 100 persen. Dari data itu, tiga pekerjaan orang tua yang paling berdampak adalah: buruh harian/lepas/pabrik, pedagang yang menjual selain bahan pokok dan fasilitas kesehatan, dan karyawan swasta yang dirumahkan tanpa digaji.
Karena keadaan keluarganya itu, kata Lupi, “Aku biayai kuliahku sendiri. Sampai tiap hari aku kerja ke sana kemari sambil kuliah. Kadang, kuliah sampai gak kudengarkan. Yang penting, aku kerja dapat uang buat bayar UKT. “
Maka menjadi wajar, bila Lupi berharap penyesuaian UKT semester ini dapat sesuai dengan kondisinya. Mahasiswa berusia 21 tahun itu mengatakan, “Kalau bisa turun paling enggak setengah, (sisanya – red) aku masih bisa cari.”
**
Kendati berharap mendapat potongan hingga setengah dari nominal UKT, Lupi tidak serta merta menjadi yakin. Sebaliknya, ia merasa takut kalau harapannya itu tidak akan terwujud. Nominal UKT-nya hanya turun satu golongan saja seperti yang terjadi pada semester lalu.
Kekhawatirannya itu bukannya tanpa alasan. Bila menengok skema penyesuaian UKT semester lalu, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 1.4/UN34/1/2021 dan SK penyesuaian UKT, semester sekarang tidak jauh berbeda.
Perbedaan hanya terletak pada perincian yang lebih jelas mengenai penyesuaian UKT bersifat sementara atau permanen di SK semester ini. Sementara di SK semester sebelumnya, tidak tertulis sifat dari penyesuaian UKT yang ada. Sehingga, sifatnya baru akan ditentukan saat melihat persyaratan yang ada.
Bila persyaratan yang dibawa mahasiswa adalah orang tua atau penanggung jawab wafat, maka dapat melakukan penyesuaian permanen. Sebaliknya, bila persyaratan yang dibawa orang tua atau penanggung jawab mengalami penurunan penghasilan sampai bangkrut akibat pandemi, mahasiswa itu akan memperoleh penyesuaian secara sementara.
Selain hal itu, untuk keterangan atau dokumen pendukung dan model penyesuaian biaya UKT, kedua SK sama. Apabila penyesuaian disetujui oleh Tim Verfikator, maka golongan UKT hanya akan diturunkan satu tingkat. Ihwal itu berlaku untuk penyesuaian UKT yang sifatnya sementara dan permanen.
Skema penyesuain UKT itu, diafirmasi keterangan tertulis berjudul Informasi dan Kebijakan Penyesuaian UKT/SPP Era Pandemi Covid-19 (New Normal) Periode Sem Gasal Tahun 2021/2022. Sebuah keterangan hasil audiensi mahasiswa dengan pihak rektorat pada 22 Juni 2021, sehari sebelum SK pembayaran UKT ditandatangani.
Dengan demikian, model penyesuaian UKT yang hanya menurunkan satu tingkat golongan UKT seperti yang tertera dalam SK itu jauh dari harapan Lupi. Tetapi, harapan itu bukannya benar-benar padam. Ismail Fajar Isakhofi, Menteri Kesejahteraan Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) mengatakan masih ada kemungkinan.
“Kemungkinan bisa. Tapi sistemnya case by case. Dengan pertimbangan langsung dari Tim Verifikator,” ujar mahasiswa yang pernah menjadi bagian Tim Penyesuaian UKT pada pembayaran semester sebelumnya, saat dihubungi via Whatsapp pada 2 Juli 2021.
Pernyataan itu selaras dengan penuturan Wakil Rektor II (WR II) Bidang Umum dan Keuangan, Edi Purwanta. Kala dihubungi via Whatsapp pada 2 Juli 2021, ia mengatakan, “Kalau pailit betul, ya diakomodasi, tetapi harus disurvei dulu.”
Farras Pradana
Reporter: Irvan Bukhori dan Farras Pradana
Editor: Diah Eka A