Ilustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Beberapa hari terakhir, semenjak meningkatnya kasus Covid-19 di Jakarta, mobil
ambulans berkali-kali melewati jalan raya tersebut. Dalam sehari, lebih dari
sepuluh ambulans lalu lalang di kawasan ini, padahal lama saya tumbuh di
Jakarta, hilir mudik ambulans tak pernah sebanyak ini.
Bukan tanpa alasan saya mengatakan ini, sebagai penghuni kamar yang paling dekat dengan jalan raya, tentu saya yang paling sering mendengar suara ambulans tersebut. Bahkan di jam 02.00 WIB, kerap kali sirine ambulans berbunyi memecah keheningan malam.
Akhir-akhir ini banyak pertanyaan di kepala, seberapa
parah kondisi yang diakibatkan pandemi Covid-19? Namun, melihat mobil ambulans
yang sering melewati jalan raya itu, saya menyadari bahwa situasi ini lebih
genting dari pada sebelumnya.
Masih
segar dalam ingatan, kemunculan awal virus Covid-19 di Cina. Beberapa pejabat pemerintahan
negara ini, bersikap jumawa mengatakan bahwa virus corona tidak akan masuk ke Indonesia.
Disaat negara-negara lain melarang pariwisata yang mendatangkan pelancong asing,
bahkan dibeberapa belahan benua lain secara tangkas memberlakukan lockdown, Indonesia malah membuka penerbangan
bagi wisatawan asing seolah-olah Covid-19 tidak ada.
Tidak hanya itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan sektor pariwisata
dengan memberikan insentif sebesar Rp. 298,5 M, untuk menggaet wisatawan asing
melalui promosi dan relasi media melalui influencer.
Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi, dan Sosial (LP3S) merilis penelitian mereka terkait komunikasi kabinet politik Presiden Joko Widodo selama pandemi Covid-19. Tercatat ada 37 pernyataan yang dinilai blunder. Seperti “Covid-19 tidak akan masuk ke Indonesia karena susahnya perizinan.” dan “Virus corona yang bisa ditangkal dengan susu kuda liar, doa qunut, dan jamu”. Namun, tidak lama dari adanya pernyataan itu, tepatnya pada tanggal 2 Maret 2020, ditemukan pasien positif Covid-19 pertama di Indonesia.
Sikap
denial dari pemerintah ini
menyebabkan masyarakat gagal dalam menyiapkan diri untuk menghadapi pandemi.
Mari kita tengok keadaan setahun yang lalu, di mana masyarakat yang panik
melakukan panic buying terhadap hand sanitizer, masker, bahan pokok, dan
Alat Pelindung Diri (APD) yang menyebabkan kelangkaan pada barang-barang
tersebut. Situasi yang mencekam, membuat masyarakat berlomba-lomba membeli bertumpuk-tumpuk
barang tersebut untuk bertahan hidup.
Kini setelah hampir dua tahun Covid-19 melanda dunia. Berbagai kebijakan telah diambil pemerintah untuk membendung laju penyebaran virus corona di Indonesia. Namun, pada akhirnya kebijakan-kebijakan tersebut sering kali dianggap blunder.
Maka tak heran rentetan
kebijakan pemerintah justru mendapat kritikan dari masyarakat. Sikap pemerintah
yang denial, inkonsisten, dan anti-sains semakin memupus harapan masyarakat
untuk segera keluar dalam situasi kritis ini. Bahkan hingga saat ini, kasus
infeksi baru terus bertambah, dengan ditemukannya varian-varian baru virus Covid-19
yang dinilai lebih berbahaya dan mematikan.
Belum
lagi penerapan kebijakan pembatasan ruang publik yang selalu berganti-ganti.
Istilah-istilah seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB transisi,
micro lockdown, dan Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) terus dikeluarkan pemerintah tanpa
ketegasan dan sanksi yang jelas bagi mereka yang melanggar. Buka tutup
kebijakan ini seolah tidak ada habisnya, dan hingga saat ini tidak ada
tanda-tanda pandemi akan berakhir.
Indonesia menempati posisi kedua setelah negara India dalam daftar negara dengan tambahan kasus Covid-19 tertinggi di Asia. Hal ini bukanlah tanpa sebab, tercatat pada 4 Juli 2021, ditemukan 27,233 kasus infeksi baru virus corona di Indonesia. Hingga 4 Juli 2021, total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 2.284.084 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.928.274 pasien dinyatakan sembuh, sedangkan 60.582 orang meninggal karena covid-19. Data ini pun dinilai masih under reported dari kasus real yang terjadi di lapangan.
Minimnya pengetahuan tentang adanya virus Covid-19 berdampak pada masyarakat yang abai terkait penerapan protokol kesehatan, tidak jarang pula ditemukan masyarakat yang tak memakai masker dan menjaga jarak. Hal ini diperparah dengan berita-berita konspirasi yang beredar di media sosial.
Beberapa influencer bahkan artis ikut membahas mengenai konspirasi Covid-19,
oknum-oknum ini berpendapat bahwa Covid-19 itu tidak nyata, sekadar dibuat-buat
oleh elite global untuk tujuan
tertentu, dan muncul anggapan bahwa Covid-19 tidak seberbahaya yang digemborkan
media. Semua hal yang menyeramkan tentang Covid-19 hanya bertujuan untuk menakuti
masyarakat. Seolah-olah kematian akibat Covid-19 tidak pernah terjadi dan hanya
angka statistik saja.
Memang disituasi yang kritis ini masyarakat memerlukan pegangan. Namun, dengan pola komunikasi publik pemerintah Indonesia yang cenderung meremehkan keberadaan virus tersebut, sangatlah mungkin berdampak pada membesarnya gelombang keyakinan para penganut anti Covid-19.
Keadaan ini diperparah juga dengan adanya korupsi penyaluran bantuan sosial Covid-19 yang menyandung beberapa elite pemerintahan. Para pejabat ini seolah lupa dengan tugas dan kewajiban. Lagi-lagi mereka menanggalkan hati nurani dan berlomba-lomba meraup keuntungan dari situasi mencekam yang melanda bangsanya sendiri. Seolah-olah lembaran kertas bernama uang itu lebih penting dari nyawa manusia.
Belum cukup sampai situ, hal ini diperparah dengan penolakan terhadap vaksinasi. Berbagai unggahan negatif tersebar di media sosial. Ada yang mengatakan vaksin berdampak buruk bagi kesehatan tubuh dan ada pula yang mengatakan bahwa dengan vaksin, di dalam tubuh kita akan ditanam microchip demi kepentingan elite global.
Ujaran-ujaran
ini mendapatkan berbagai reaksi di masyarakat, beberapa menolak untuk percaya
namun, tak sedikit pula yang meyakini ujaran tersebut. Bahkan Covid-19
seringkali dibenturkan dengan persoalan ibadah dan hal-hal yang berbau mistis. Ya
memang sudah peninggalan sejarah kita, bahwa sejak zaman kolonial masyarakat
Indonesia terkenal dengan logika mistika, seperti kritik Tan Malaka dalam
bukunya yang berjudul Madilog.
Logika mistika ini menghambat masyarakat untuk berpikir maju berdasarkan ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan masalah. Mereka lebih mengkultuskan dan menuhankan hal-hal mistik yang berdampak pada sikap mudah menyerah. Sikap anti Covid-19 dan anti-sains merupakan contoh model terbaik dari kebebalan yang hidup di masyarakat. Sebagai salah satu alumni pasien Covid-19, tentu saya sangat menentang kebebalan dan kebodohan tersebut. Covid-19 itu nyata adanya! Virus ini bukanlah penyakit flu biasa! Saya sendiri telah bertarung dengan virus ini.
Bahwa memang benar adanya virus ini sangatlah menyiksa nan juga berpotensi pada kematian. Sehingga saya akan naik darah apabila ada yang mengatakan bahwa pasien Covid-19 dibayar atas penderitaannya sendiri. Mau sampai kapan bangsa ini berdebat pada nyata tidaknya pandemi Covid-19? Sampai kapan kita harus hidup dalam ketakutan karena manusia-manusia yang tidak pernah mau membangun akal sehat pada diri sendiri?
Hingga kapan ribuan rumah sakit penuh sesak dan ambulans selalu berlalu lalang entah membawa pasien Covid-19 yang masih hidup ataupun sudah meninggal? Sampai kapan kebebalan itu menjerumuskan kita dalam situasi mengerikan ini? Apakah harus menunggu kita atau orang-orang yang kita sayangi terkena Covid-19?
Cukup
dengan semua ini.~