Selat Malaka merupakan selat yang memisahkan Semenanjung Malaysia dengan Pulau Sumatera. Posisi selat tersebut berada tepat di tengah jalur perdagangan internasional. Kedudukan Selat Malaka sangat stategis. Hal itu menjadikan kunci kemajuan bagi kerajaan – kerajaan yang pernah berkuasa. Mayoritas penguasa wilayah ini bertumpu pada sektor perdagangan maritim.
Dalam catatan sejarah, Selat Malaka telah menjadi jalur utama sejak zaman dahulu. Bangsa India, China, dan Arab telah menjadikan selat ini sebagai jalur lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Selain itu, Selat Malaka juga menjadi pusat penyebarluasan agama di Asia Tenggara. Hal itu telah terjadi selama ratusan tahun sebelum masa kolonialisme Barat.
Selat Malaka membentuk akulturasi budaya di dalam identitas masyarakat sekitar. Interaksi yang kuat dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya serta agama terjalin antara pengguna jalur Selat Malaka dengan penduduk yang berada di wilayah-wilayah sekitar Selat Malaka (Saeri, 2013). Oleh karena itu, selat ini menjadi rebutan oleh kerajaan – kerajaan sekeliling wilayah itu dan juga bangsa Barat.
Portugis merupakan negara Barat pertama yang berhasil menguasai Malaka. Ekspedisi Portugis ke tanah Melayu bertujuan untuk mencari rempah – rempah yang sangat mahal harganya di Eropa. Invasi dan penjelajahan ini mengusung misi 3G, yaitu Gold (keuntungan), Glory (kejayaan) dan Gospel (agama). Tujuannya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya serta memiliki kekuasaan di wilayah baru yang ditemukannya. Selain itu, bangsa ini juga menyebarkan pengaruh agama di wilayah kekuasaannya.
Pada tahun 1511, Portugis berhasil menaklukan Kerajaan Malaka yang dipimpin oleh Sultan Mahmud. Kerajaan Malaka takluk dengan mudah oleh Portugis akibat teknologi militer mereka yang tertinggal jauh. Kekalahan tersebut membuat runtuh Kerajaan Malaka hingga pemimpin mereka, Sultan Mahmud, melarikan diri untuk mencari perlindungan di Pulau Bintan. Jatuhnya Selat Malaka ke tangan Portugis menandai lahirnya kekuatan baru yang menguasai Malaka. Hal itu juga berdampak pada perubahan peta perdagangan Nusantara.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis membuat para pedagang muslim harus mengubah jalur perdagangan mereka. Hal itu diakibatkan hubungan antara pedagang muslim dengan Portugis yang tidak terlalu baik dan selalu ada persaingan di antara mereka.
Perubahan rute perdagangan ini memicu munculnya banyak bandar-bandar dagang atau pelabuhan baru di nusantara seperti Meulaboh, Barus, Singkel, Tingku, dan Pariaman (Tim Penulis Puspindo). Berkembangnya bandar – bandar dagang dan pelabuhan di luar Malaka membuat di wilayah tersebut semakin maju dan berkembang.
Berkuasanya Portugis di Selat Malaka memiliki arti dan peranan penting bagi jalannya perdagangan mereka di Nusantara. Selat ini menjadii tempat armada militer Portugis guna mengontrol perdagangan dan kawasan, serta kapal-kapal yang melintasi kawasan Nusantara. Kapal-kapal yang melintasi wilayah ini dipaksa mampir ke Selat Malaka. Tak hanya singgah, mereka juga dipaksa untuk menjual dan membeli rempah-rempah yang ada di Malaka. Dengan begitu, Portugis berhasil meraup keuntungan yang banyak.
Selain Portugis, terdapat kerajaan lain yang memiliki pengaruh di jalur perdagangan internasional, yakni Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan bercorak Islam ini sendiri menjadi pusat perdagangan para pedagang muslim. Kerajaan – kerajaan muslim sendiri menganggap bahwa Portugis merupakan ancaman serius. Selain permasalahan dagang, agama juga menjadi sumber perseteruan di antara mereka.
Portugis yang mendirikan gereja secara terang – terangan di daerah koloninya, serta berupaya mengkristenkan penduduk setempat lewat para misionaris, membuat Aceh memandang Portugis sebagai musuh agama (Fernando, 2021). Selain itu, pihak Portugis sendiri merasa tersaingi oleh Aceh yang lambat laun tumbuh menjadi negara maritim perdagangan yang kuat dan maju di Semenanjung Sumatera. Hal ini membuat Portugis ingin merebut dan menjatuhkan Kerajaan Aceh Darussalam.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Portugis untuk merebut Aceh. Salah satu cara yang dilakukan adalah melancarkan serangan di bawah pimpinan Henrigues pada tahun 1523. Aksi tersebut diteruskan oleh de Sauza pada tahun berikutnya, tetapi serangan tersebut menemui kegagalan.
Puncak dari perseteruan terjadi saat Aceh dalam kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada saat itu, pemimpin Kesultanan Aceh itu berhasil memupuk semangat para rakyat Aceh untuk melawan Portugis. Aceh menambah kekuatan militernya dengan menggandakan kekuatan pasukannya. Angkatan laut mereka diperkuat dengan kapal – kapal besar yang berisi 600 – 800 prajurit. Kemudian, pasukan kavaleri juga dilengkapi dengan kuda dari Persia, pasukan gajah, dan milisi infanteri. Hal ini dilakukan untuk menandingi kekuatan Portugis di Malaka. Selain itu, Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi adanya serangan langsung oleh Portugis ke Aceh.
Konfrontasi antara Aceh dan Portugis sendiri berlangsung secara terus menurus dengan waktu yang cukup lama. Akan tetapi, perkelahian tersebut tidak membuahkan hasil. Tidak ada satu pun dari mereka yang mampu mengalahkan satu sama lain. Hingga pada akhirnya, Malaka berhasil diduduki oleh VOC pada tahun 1641. Kerajaan Aceh sendiri mengalami kemunduran pasca wafatnya Sultan Iskandar Muda. Kepemimpinan Aceh diambil alih oleh Sultan Iskandar Thani dan kekalahan Portugis di Malaka mengakhir hegemoni Portugis di Nusantara.
Mus Mulyadi
Editor: Irfan Arfianto