Ilustrasi: Farras Pradana |
Arang Hitam
Ribuan lembayung menangis kala itu
Pilu datang membawa guncangan
Terik matahari malu bersimpuh
Karena hujan tak berani menderas
Arang sejati menjadi
pusaka
Menjernihkan air yang
hitam membiru
Siluet malam datang
membayang
Arang sejati mendengkur
meratap
Berlian hati bertanya mengapa
Arang diam tak pernah menjawab
Susunan cakra bersinar kala itu
Menghormati alam yang diam membisu
Lembaran putih sengaja
tercabik
Arang hitam tersenyum
gembira
Menyisakan asap putih di
atas horizon
Dan arang sejati kembali
sepi
Rintihan Suara
Merpati
Pagi terbang
Siang menjulang
Malam melayang
Egomu nian
usang
Pagi
kau segar
Siang
kau tegar
Malam
kau nanar
Suaramu
tak terdengar
Merpati, oh
merpati
Nasihat apa
sultan memberi
Tak disangka
hilang pergi
Walau hanya
seuntil padi
Pagi
terbang
Siang
menjulang
Kabar
tak datang
Merpati
kau hilang
Merpati, oh
merpati
Gawai coba
menghajar
Bagaimana
nasihat kau terapi?
Jika suaramu
tak terdengar
Manifes Demokrasi
Hujan diminta tak tentu datang
Pohon-pohon aren banyak ditumbang
Walau teriakan membara-bara
Tak sedikit pun jiwa-jiwa terpana
Demokrasi
Bicara sana sini
tak ada hasil
Manifes-manifes
oligarki datang dinanti
Buyarkan aksi si
demokrasi
Di negeri ini, semua terjadi
Tak ada sawah padi pun jadi
Tak usah pergi mencari hati
Karena bisa jadi sampingmu pergi
Demokrasi
Sudah lama menjadi
saksi
Di tengah buyaran
halusinasi
Benar dan salah
menjadi misteri
Amanah Guru
Suara klakson tak pernah membuat berhenti
Manisnya jingga tak cukup diberi untaian puisi
Kelakar alam tak patut dijadikan skeptis
Anti minimalis membuang waktu dengan sang kapitalis
Manuskrip cerita tak butuh halusinasi
Ujian hidup tak patut diarti
Kesalahan raga memang tak berarti
Karena di sini insan diuji
Walau palang membayangi arti
Insan pun tak berani menanti
Namun kalam tak sudi dinanti
Hingga insan cukup mengerti
Sedang ruangan penuh gejolak
Menanda pergi seorang anak
Banyak kamus berjarak-jarak
Sampai insan diberi kehendak
Klaten-Purwokerto
Klaten-Purwokerto
Berjajar kota
dan kabupaten terhampar
Deretan
gunung-gunung pun tertancap di bumi pertiwi
Ratusan
kilometer sukmaku terhalang oleh jarak
Wahai juitaku, apakah engkau mendengar gemercik rinduku?
Klaten-Purwokerto
Hari demi hari berganti
Tahun demi tahun tahun berlalu
Arloji pun terus berpacu bagaikan roda gila
Sungguh, ku tak tahan menahan hasrat tuk jumpa padamu
Klaten-Purwokerto
Wahai bunga
hatiku dikau harus tau
Disaat
sembahyang selalu ku selipkan namamu
Disaat ku
melukis selalu tergores tinta indah akan wajahmu
Disaat ku menulis selalu teruntai kata nan cantik seperti sosokmu
Oh Tuhan ....
Kapan kau berikan secercah asa untukku?
Untuk menjumpai bunga hatiku nan jauh di mata
Untuk menikmati secangkir kopi pahit yang berbuah manis bersamanya
Untuk menyampaikan letupan rinduku yang sudah tak terbendung dasar kalbu
Klaten-Purwokerto
Ku hanya terus
bersabar menatap langit bumi pertiwi
Mengharapkan
pada sang khalik untuk memohon pada-Nya
Oh, juita
bunga hatiku, dengarkah engkau tentang jeritan rinduku?
Jeritan yang
terus berdendang bagaikan alunan lagu
Lagu-lagu bernada tinggi itulah rasa rinduku padamu
Wahai juitaku, bersabarlah menungguku
Tuhan sudah menggariskan waktu kita pasti bertemu
Tenanglah berada di kota nan jauh itu
Aku berhasrat tinggi menjemputmu pulang
Menuju ikatan kain putih dan suci yang diridai ilahi
Akmal Firmansyah
Editor: Ananda Poetri Habibah dan Megi Suhartini