Ilustrasi: Ahmad Effendi |
Lebaran adalah tradisi yang masih langgeng. Setahun sekali
dijalani. Sementara makna Maaf punya sejarahnya yang panjang. Hari ini, 1
Syawal 1442 Hijriah, atau 13 mei 2021 kalender masehi, keduanya bertemu.
**
Suatu kali, filsuf Prancis Jacques Derrida pernah mengatakan bahwa level tertinggi dari Maaf adalah “memaafkan apa yang (sebenarnya) tak bisa termaafkan”. Baginya, penerimaan yang legowo akan sesuatu yang amat pilu dalam hidup, menjadi suatu pembebasan bagi manusia dari perasaan yang membelenggunya.
Maaf sendiri juga punya makna yang beragam bagi relasi manusia ke manusia (person to person). Derrida membagi makna Maaf dalan dua terma, yakni sebagai bentuk konsensus untuk saling mengingat dan melupakan.
Dalam kerangka Maaf, mengingat memiliki arti penting untuk kembali merefleksikan hal-hal buruk (baca: kesalahan) yang pernah terjadi atau dilakukan seseorang di masa lalu. Sementara melupakan, punya posisi sebagai kurs pertukaran janji untuk tidak mengulangi hal-hal buruk tersebut.
Seturut ia sebagai an sich, yang akhirnya
terekonstruksi oleh masyarakat, Maaf memiliki pemaknaan masing-masing.
Ada yang menganggapnya sebagai bentuk lain dari sikap lemah, tapi tak sedikit
pula yang menempatkan Maaf pada level terkuat: sikap lapang dada dan
sportif. Terlepas dari itu, hari ini, pada momen lebaran ini, Maaf jadi
primadona.
Bagaimana tidak, dalam pandangan paling primordial soal
tradisi lebaran di Indonesia (atau bahkan mungkin di dunia), Maaf layaknya
bumbu. Ia jadi pemanis suasana ketika masyarakat yang sudah lama tak sua
akhirnya bertemu lagi. Ia kadang juga menjadi rasa pahit ketika kita dipaksa
mengingat masa-masa buruk yang menimpa – dan itu dilakukan – oleh, katakanlah,
orang terdekat. Terlepas dari rasanya, Maaf telah menjadi yang-wajib.
Lebaran tidak ada Maaf selayaknya masakan tanpa rasa sedikit pun.
Pertanyaannya kemudian, apakah kita bisa mencapai level
tertinggi dari Maaf, seperti diungkapkan Derrida, pada momen lebaran ini? Sebelum sampai ke sana, saya punya sedikit
anekdot yang datang dari negeri India, berabad-abad yang lalu. Kisah ini bukan
kreasi pribadi, melainkan saya hanya mendengarnya dari salah seorang mitolog
India, Devdutt Pattanaik, dalam seminar yang tayang di kanal Youtube TED
berjudul East Vs West: The Myths That Mystify.
Ia bercerita, saat Alexander Agung, seorang raja gagah berani
asal Makedonia melakukan ekspansi ke negeri India, dirinya bertemu seorang gymnasopist
atau petapa. Petapa itu dalam keadaan telanjang bulat. duduk bersila dan
tangannya mengadah ke langit. Sang Raja heran, lantas bertanya: “Apa yang
engkau lakukan?”
“Aku sedang melakukan ketiadaan,” jawabnya. “Apa yang engkau lakukan?”
Ditanya balik, Alexander Agung menjawab: “Saya sedang
menaklukan dunia.”
Keduanya tertawa. Saling mentertawai. Sang Raja menganggap
apa yang dilakukan Si Petapa adalah kelucuan. Begitupun Si Petapa yang
menganggap Sang Raja sedang melakukan hal yang mustahil.
Akhirnya, dunia menyaksikan. Alexander Agung terbukti gagal
melakukan ekspansi yang lebih jauh, ia mengalami serangkaian kegagalan di
India. Sementara Si Petapa, yang dianggap melakukan kelucuan itu, nyatanya
sampai hari ini “kelucuannya” tetap dikenang, malah banyak dikaji. Konsep
“melakukan ketiadaan” yang ia lakukan, kini dipakai sebagai tonggak untuk
menelusuri asal-usul dari “0” (angka matematis nol).
Banyak peneliti, salah satunya Peter Gobets dari Yayasan Zero
Project di Belanda, yang meneliti tentang asal-usul angka nol, memperkirakan
terma ini lahir dari filsafat ketiadaan atau Shunyata dalam tradisi
Hindu-Buddha. Konsep ini berarti semacam “mengosongkan pikiran seseorang dari
kesan dan pikiran”. Nol bukan berarti tidak ada; ia hanya “meniadakan” untuk
kemudian diisi kembali.
Kendati demikian, filsafat ketiadaan yang menjadi asal muasal
istilah “nol” ini mulai dipertentangkan pada Abad Pertengahan di Eropa.
Alasannya sederhana, Eropa yang tengah dikuasai dominasi gereja tidak sepakat
dengan konsep ini karena dianggap akan meniadakan Tuhan. Kendati demikian,
pasca-runtuhnya dominasi gereja, konsep ini kembali mendapat perhatian.
Lucunya, terlepas dari perdebatan di dalamnya, nyatanya
“hanya” dengan melakukan sikap ketiadaan, Si Petapa itu mampu mengubah sejarah
bukan? Dibanding Sang Raja yang melakukan ekspansi. Kata banyak tokoh, utamanya
filsuf cum psikolog Sigmund Freud, ini dinamakan “the power of absence”
(kekuatan dari ketiadaan). Katanya, meniadakan sesuatu punya arti penting
sebagai sarana pembebasan perasaan seseorang.
Lantas, kembali muncul pertanyaan: “Apa hubungan konsep ini
dengan Maaf, atau malah dengan lebaran?”
Memahami konsep ketiadaan secara filosofi, sangat penting
untuk mengetahui di mana posisinya untuk Maaf, dan mengapa ia relevan
saat lebaran.
Pertama, harus diingat, bahwa sejarah awal tradisi
lebaran dapat ditelusuri secara etimologi bahasa. Menurut MA Salmun dalam
artikelnya di majalah Sunda (1954), istilah “lebaran” berasal dari
tradisi Hindu yang berarti, “Selesai, Usai, Habis”. Dalam bahasa lain, lebaran
dipakai untuk menunjukkan bahwa puasa telah selesai. Budayawan asal Jawa Barat
ini menduga, bahwa tradisi ini digunakan oleh para wali agar orang-orang Hindu
yang baru saja masuk Islam, tidak merasa asing dengan agama yang baru
dianutnya.
Kedua, jika menelaah tradisi lebaran secara kebahasaan
dan konsep ketiadaan secara filosofis, keduanya saling berhubungan. Mereka
dapat dimaknai sebagai dua hal yang punya hubungan kausalitas: ketika lebaran
datang, maka akan hadir konsep ketiadaan. Maknanya, bahwa ketika bulan suci
telah usai, “mari saling meniadakan, kembali ke nol dan selanjutnya kita isi
lagi”. Begitu lah kiranya.
Ketiga, Maaf punya posisi sebagai medium
penghubung antara lebaran dan ketiadaan. Artinya, hubungan ini mempunyai makna,
bahwa “ketika bulan suci telah berakhir, dan manusia-manusia saling berjuang
untuk kembali ke nol, maka Maaf mereka gunakan sebagai jalannya.”
Pendeknya, Maaf adalah pembebas.
Lantas, kembali ke pertanyaan paling awal, apakah kita bisa
mencapai level tertinggi dari Maaf tersebut?
Selamat Lebaran!
Ahmad Effendi
Editor: Farras Pradana