Illustrasi: Rindi Aliatissolihah |
Masyarakat Jawa,
yang dinilai “santun dan ramah”, juga menjadi skala tambahan dalam mendongkrak
industri pariwisata di Yogyakarta. Kata yang diserap dari ajaran Narimo Ing
Pandum dalam falsafah Jawa ini, dikapitalisasi menjadi peluang destinasi
dan investasi di bidang kepariwisataan.
Akan tetapi, untuk
sejenak, mari kita berfikir lebih dalam tentang jargon-jargon tersebut. Dengan
demikian, ada pertanyaan lain yang kemudian muncul: Apakah kota ini benar-benar
berhati nyaman? Atau, benarkah masyarakat Jogja memperoleh kenyamanan, seperti
tersemat dalam jargonnya?
Ya, harus diakui, banyak
apartemen, hotel berbintang, perumahan mewah, atau properti lainnya, yang terus
bermunculan dengan branding “kota modern”. Selain itu, menjamur pula
lokasi-lokasi seperti tempat hiburan malam, mal, serta pusat perbelanjaan hampir
di setiap penjuru kota pelajar ini. Properti akomodatif nan mewah ini, tak
dimungkiri tentu jadi jaminan kenyamanan bagi wisatawan yang berlibur, serta makin
menunjukkan eksistensi “Keistimewaan” provinsi yang berada di Pulau Jawa bagian
selatan tersebut.
Kehadiran properti
mewah yang berdiri di setiap pojok Jogja itu, menyilaukan mata kita dalam
riuhnya perkotaan. Sehingga, “mode nyaman” didapatkan para wisatawan. Alhasil,
turis yang datang ke Yogyakarta terus meningkat.
Namun, jika kita lihat
secara teliti, di sudut bawah Kali Code, atau juga di pemukiman padat penduduk
pinggiran rel kereta api dan Selokan Mataram, kalian pasti akan melihat
pemukiman sesak dan kumuh. Ia begitu jelas dan terpampang nyata adanya. Bagi
penulis, fenomena itu mengiris hati, bahkan menimbulkan ketidaknyamanan sebagai
warga pendatang.
Ketidaknyamanan itu, pasti juga dirasakan bagi masyarakat yang menempati pemukiman tidak tertata tersebut. Keniscayaan itu, tentu bukan opsi hidup yang dipilih warga pemukiman kumuh tersebut. Akan tetapi, semua punya akar masalah yang pasti: “Gentrifikasi”.
Kehadiran
Getrifikasi di Yogyakarta
Gentrifikasi
menjadi viral baru-baru ini. Kata ini mendadak ramai: di Twitter, Instagram,
dan platform media sosial lain. Warganet banyak yang membahas fenomena ini.
Dalam diskursus tata kelola lingkungan, gentrifikasi dapat dijadikan pisau
analisis yang pas untuk melihat permasalahan ruang hidup di Jogja.
Sederhananya,
wujud gentrifikasi muncul sebagai proses perubahan lingkungan kota, yang
sebelumnya kumuh dan kurang produktif, menjadi properti mewah yang hanya dapat
dijangkau oleh kelas menengah atas (kerah putih) atau properti lain yang
diperuntukkan untuk komersiil (Lees, L. 2008). Keberadaan properti mewah, yang
hanya dapat dijangkau oleh pekerja kerah putih ini, menjadi tanda gentrifikasi
telah menjadi bagian dari kehidupan kota tersebut.
Anda tak perlu
mengenyam pendidikan khusus untuk memahaminya. Karena, proses gentrifikasi ini
sudah terlihat secara gamblang, dengan berbagai pembangunan hunian modern,
pusat pertokoan atau mal, hotel maupun properti mewah lainnya, yang secara masif
dan cenderung tak terkendali di Yogyakarta.
Fenomena
gentrifikasi pada daerah yang masih mempertahankan budaya feodal ini, terlihat
pada perubahan gedung-gedung tua dan perkampungan sesak penghuni, yang disulap
menjadi properti mewah nan modern. Memang kontradiktif, kota yang dianggap
istimewa dengan banyaknya peninggalan bangunan yang bernilai sejarah dan
dinilai unik, berubah menjadi gedung mewah bergaya masyarakat era kapitalisme
industri.
Gedung tua dan
perkampungan yang telah lama, justru menjadi peluang bagi aktor produksi
perumahan dalam mengembangkannya, dengan mengubah menjadi properti baru
bercirikan higest and best use (HBU).
Sebagaimana
ditegaskan Sholihah (2016), proses transformasi yang tengah melanda Kota
Yogyakarta – seperti dituliskan di awal – itu disebut sebagai gentrifikasi. Tak
salah lagi! Transformasi perkotaan yang terwujud melalui proses gentrifikasi,
dapat dilihat pada mulai tumbuh dan berkembangnya secara cepat sejumlah hunian
kamar hotel di Yogyakarta. Jenis properti yang muncul, akan sangat bergantung
pada karakteristik perekonomian wilayah tersebut (Wahyu, 2020).
Dalam kasus
Yogyakarta, properti modern yang muncul kebanyakan berupa sarana pariwisata
(akomodasi). Gentrifikasi pariwisata disinyalir lahir dari pertemuan proses
penyebaran gentrifikasi ke berbagai negara (generalized gentrification),
dan pembangunan massif pariwisata global di perkotaan (Liang and Bao, 2017).
Pembangunan properti yang bersifat akomodasi seperti hotel, menjadi karakteristik yang sesuai dengan kota Yogyakarta sebagai distrik wisata dan budaya. Bisnis perhotelan yang cukup pesat ini, menjadi fenomena nyata yang terlihat di Yogyakarta.
Dari data di atas,
dapat diketahui bahwa pembangungan hotel di Yogyakarta mengalami peningkatan
yang signifikan tiap tahunnya. Peningkatan jumlah hunian kamar hotel juga
berkorelasi dengan terus meningkatnya jumlah wisatawan di Yogyakarta.
Pada data tersebut,
Badan Pusat Statistik (BPS) hanya mencatat penghunian kamar hotel, padahal
model penginapan lainnya seperti losmen, indekos (kost) ekslusif juga
menjadi alternatif pilihan wisatawan dalam berkunjung di Yogyakarta. Sejauh
ini, penulis belum menemukan ada data statistik yang konkrit, mengenai berapa
jumlah pasti losmen dan kost eksklusif di Yogyakarta. Akan tetapi,
tingginya jumlah wisatawan, ditambah jumlah pelajar dan mahasiswa yang belajar
di Yogyakarta terus meningkat, besar kemungkinan jumlah losmen dan kost
eksklusif mengalami kenaikan pula.
Apabila pembangunan
ruang akomodatif, yang tanpa pengendalian ini dibiarkan, potensi akan timbulnya
ancaman kerusakan lingkungan dan konflik sosial maupun agraria semakin besar. Seperti
yang sudah terjadi di Pringgokusuman, Gedongtengen, Yogyakarta, misalnya.
Konflik itu muncul
akibat displacement, dengan menggusur penghuni informal yang berada pada
lahan yang akan dibangun hotel (Wahyu, 2020). Pada dasarnya penghuni menolak
secara tegas pemilik lahan dalam melakukan pengusiaran. Upaya perlawanan pun
dilakukan, mulai dari demonstrasi, pelemparan batu, negosiasi hingga
pengadilan. Pendeknya, tindakan tersebut membawa konflik vertikal maupun
horizontal.
Selain memicu konflik
antarmasyarakat, gentrifikasi juga mengancam keberlangsungan ekosistem, yang
tentu berdampak buruk pada makhluk hidup di sekitarnya. Lingkungan dan warga
Kampung Ketempen, Kota Semarang, sudah merasakan dampak negatif perubahan kota
tersebut. Pembangunan apartemen di desa tersebut berakibat pada tercemarnya
air, yang biasanya dikonsumsi oleh warga sekitarnya (Aprianto, 2016).
Untuk mendapatkan
haknya yang paling mendasar sekalipun, warga sekitar apartemen harus melakukan
demonstrasi. Protes dan penyuaraan tuntutan kepada pengelola apartemen, terus
digaungkan oleh warga terdampak, menuntut manajemen melaksanakan kewajiban
mereka sesuai perjanjian di awal pembangunan. Dalam kesepakatan awal,
perusahaan properti tersebut berjanji, bahwa segala dampak negatif dari
pembangunan apartemen akan ditanggung oleh pihak kontraktor mewah itu.
Gentrifikasi
dan Pergulatan Hidup Di Yogyakarta
Perubahan kualitas
kota, tak terlepas dari para tuan tanah yang membeli bangunan. Para “tuan
tanah” ini menilai, bangunan-bangunan yang mereka beli ini telah usang dan
perlu diganti dengan hunian modern, yang sesuai pada konsumsi masyarakat perkotaan.
Ini menjelaskan, bahwa sebenarnya dalam menentukan dampak gentrifikasi, memang
harus dilihat dari mana sudut pandangnya, sesuai dengan stakeholder yang
terlibat (Lang. M. E., 1982).
Pengusaha properti
dan kontraktor memperoleh keuntungan dari renovasi tersebut. Pemilik alat
produksi akan menyewakannya kepada pekerja kerah putih, yang populasinya terus
meningkat, seiring proses deindustrialisasi dengan meningkatnya jasa keuangan
di perkotaan.
Proses transformasi
ini dipermudah dengan perizinan usaha, yang mulai di longgarkan (deregulasi)
sebagai tren kebijakan pada daerah penganut pertumbuhan ekonomi. Peningkatan
investasi dengan melakukan deregulasi, menjadi wacana ekonomi-politik
neoliberal dengan menempatkan negara hanya berperan sebagai anjing penjaga (watchdog)
bagi para pemilik modal (Wahyu, 2019).
Kendati Yogyakarta
merupakan daerah setingkat provinsi, yang dipimpin oleh seorang raja bergelar
“Sultan” – seorang pemilik kuasa yang memiliki “tanah grond” di
daerahnya – namun, tak menutup kemungkinan lancarnya investasi dengan deregulasi
pada daerah terebut. Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja yang
telah disahkan pemerintah pusat, juga ikut memuluskan proses investasi, yang
berujung pada bentuk gentifikasi di Yogyakarta.
Beberapa tahun terakhir
ini, seseorang yang pernah tinggal maupun yang menetap di Yogyakarta, pasti
merasakan pesatnya transformasi perkotaan, yang terjadi pada daerah feodal
tersebut. Hadirnya proses gentrifikasi, terlihat dari perumahan elite yang
menjamur, dengan gedung-gedung tinggi apartemen, hotel, dan pusat perbelanjaan
terpampang di setiap sudut kota.
Pembangunan
properti mewah dengan branding modern, memicu merabaknya kafe-kafe,
restoran, tempat hiburan malam, distro dan wahana lain, yang memuasakan
keinginan masyarakat kelas menengah, sebagai penunjang aktivitas perkotaan.
Perubahan wajah
kota dengan bangunan modern dan elite memang menguntungkan beberapa pihak yang
terlibat didalamnya. Sebut saja, mulai dari tuan tanah, pemberi pinjaman,
pengembang, broker real estate, hingga pemerintah pusat dan daerah. Akan
tetapi, proses transformasi ini juga perlu dilihat bahwa ia merugikan
pihak-pihak lain yang tidak dapat menjangkau harga pasar pada properti modern
tersebut.
Pembuatan
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Yogyakarta, dengan memberikan karpet
merah kepada investor, justru mengakibatkan warga asli kota yang didominasi pekerja
kerah biru (kelas menengah ke bawah), yang juga membutuhkan tempat tinggal,
tergusur secara perlahan.
Pada akhirnya
apartemen, perumahan modern, rumah sekitar pusat perbelanjaan atau hotel hanya jadi
ajang investasi yang menguntungkan kelas pengusaha, dan hanya mampu dijangkau
oleh kalangan kelas menengah-atas (Parama, 2019).
Mereka, yang tidak
bisa menjangkau penawaran harga properti yang tinggi, pada akhirnya
terpinggirkan ke daerah sub-urban, dan yang mampu bertahan, berada di perkotaan
bermukim pada wilayah pinggiran, seperti bantaran sungai, pinggir rel kereta
api, bahkan kolong jembatan.
Ini menjadi
perampasan ruang hidup yang paling sopan dan legal. Sementara penawaran harga
properti cukup mahal dan hanya bisa dijangkau kelas menengah, para pekerja
kerah biru ini pada akhirnya melakukan alternatif terakhir – atau sebenarnya
bukan pilihan, yakni berakhir sebagai tunawisma atau menjadi gelandangan (homeless)
(Wahyu, 2019).
Gentrifikasi yang
dianggap ampuh menyelesaikan persoalan kemiskinan, malah memunggungi tujuannya sendiri.
Konon katanya, mengutip Loretta Lees, proses ini akan menciptakan “Sosial Mix”
– percampuran penduduk antara pekerja kerah putih dan kerah biru – yang sungguh
(katanya) mempan memecah konsentrasi kemiskinan di wilayah tersebut (Wahyu,
2019).
Padahal, secara
ironis, gentrifikasi yang tak terkendali, dengan pembangunan hunian modern
tanpa melihat kemampuan masyarakat tersebut, justru memperlebar jurang
kemiskinan itu sendiri.
Disparitas sosial
makin terlihat nyata dengan terampasnya ruang hidup masyarakat miskin kota. Di satu
sisi, akan terbentuk perkotaan yang modern dengan perumahan elite. Namun, bagian sisi yang lain, terdapat pula pemukiman
kumuh dan warga tunawisma, yang kehidupannya cukup rentan termarginalkan.
Yogyakarta menjadi
bukti nyata konsekuensi dari model pembangunan kota tersebut. BPS merilis angka
ketimpangan ekonomi yang diwakili oleh Gini Ratio (indeks pengukur
kesenjangan kemiskinan dan pendapatan), dengan mengukur tingkat pengeluaran
penduduk.
Mereka menemukan
bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi yang tertinggi se-Indonesia, yakni 0,
434 (BPS), 2020). Angka ini jauh di atas Rasio Gini Nasional, yang sebesar 0,
393 (Andhika, 2017).
Ketimpangan sosial
ini, menjadi benang kusut konsekuensi dari gentrifikasi yang tak terkendali di
Yogyakarta. Model pembangunan kota semacam itu perlu segera diperbaiki dengan
alternatif kebiijakan yang solutif dan lebih tepat sasaran. Dengan harapan,
agar di kemudian hari ketimpangan sosial yang telah membentuk jurang yang cukup
lebar, tidak melahirkan permasalahan lain yang menambah penderitaan masyarakat
dan beban bagi pemerintah Yogyakarta.
Amirudein
Al Hibbi
Editor: Ahmad Effendi