Illustrasi: Sasageyo |
angin puyuh merambah ke hutan
bertiup
di atas angin permukaan sungai-sungai dan lautan
untaian
mozaik pulau-pulau, bak penggalan surga
bukit-bukit
dan gunung perawan basah
bentangan
sayapmu mampu menggapai Tanjung Pura, bahkan Selat Malaka
kepaknya,
terbang bebas mengarungi hamparan samudera dan benua-benua
cengkraman
cakarmu menjaga kesuburan tanah
kokok
paruhmu mampu merenggut nyali para serigala
berbagai
peradaban kau telan
berbagai
keyakinan kau satukan
perisai
di dadamu menopang badai penjajah
tegap
tubuhmu percaya dalam kemandirian
sudah
berabad tahun yang silam
dan
kini hanya sekedar lambang
sedangkan
aku, hanyalah seekor merak picisan
yang
dibesarkan dari makanan-makanan instan
terbangku
terbatas oleh besarnya sangkar
sangkar
emas yang dikerudungi selimut merah muda
sedangkan
merah dan putih, tak lagi bermakna
enggan
berkibar, terhimpit benali di tiangnya
aku
diajari hinggap menjauhi sarangku
aku
dimabukan oleh minuman-minuman suplemen
hamparan
tanah yang menjadi pijakanku
kini
tertutup guguran daun-daun kertas dan bangunan mallpolitan
hari-hariku
disibukan untuk memanjakan buluku di ruang kelas dan bangku
menjadi
komoditas yang marketable bagi tuanku
hati
spiritualku dihanyutkan oleh ibadah yang tak lagi disembunyikan
untuk
semakin menjauhi adat ketimuran
kalau
hutan belantara rumahku
dan
merah sepertiku menjadi rakyatnya
lalu
siapa tuanku
aku
melayani atau aku dilayani
aku
menguasai atau dikuasai
aku
mencoba keluar dari hutan
untuk
menengok di sepanjang perempatan jalan
di
terminal, di penggusuran tempat pelacuran
di
bawah kolong jembatan layang
di
pasar-pasar tradisional yang terbakar
dan
di tepi persawahan
anak
garuda ada di sana
tatapan
matanya penuh keraguan
mereka
mulai tak yakin dengan kebesaran nenek moyangnya
karena
bapak-ibunya kini justru menjadi joki, yang menjual kehebatannya
anak
garuda kini mencoba belajar dengan alam
karena
pendidikan tak lagi ramah dengan kemiskinan
yang
kaya dapat membeli karbit, untuk gelar doktor
yang
miskin tak akan bergelar walaupun pintar
reformasi,
revolusi mental, dan kemerdekaan
pohon
beringin dikeping-keping, untuk membayar hutang
siapa
yang konsisten mengisi sejarah
yang
satu kapan lahirnya, yang satunya sudah berguguran di medan laga
aku
mulai resah
lalu,
akan ke mana paruhku kuteriakan
kepada
awan, awan menamparku
kepada
gunung, gunung meninjuku
kepada
laut, laut meludahiku
akhirnya
aku terjungkal
terjerembab
di tanah Wengker
sayapku
terjerat di alang-alang hutan yang angker
dayaku
membeku di sarang angin
kutumpuk
napsuku di sela-sela Gunung Wilis dan Lawu
kutunggu
sampai Tuhanku meridai
kalau
para penguasa tidak mau bersuara
terpaksa
aku bertengger di atas kepalanya
========
Catatan: Puisi ini pertama kali dibacakan oleh penulisnya pada acara Diskusi Philosofis Jilid #2: Peran Sastra dalam Jurnalisme Jumat, 20 November 2020.
Natasya Octavia Haryuningtyas
Editor: Rachmad Ganta S
Kak, mohon di cantumkan penulisnya yaa.. L.H Niadi
BalasHapus