Illustrasi: Sweetasandpie |
Islam dan
sosialisme, sebagai sebuah nilai, kerap dianggap berseberangan, saling
membelakangi bahkan bertentangan satu sama lain. Namun, sosialisme sebagai
paham, tentu tak menutup kemungkinan untuk saling terikat dalam agama,
khususnya Islam. Terlebih, jika berbicara dalam konteks perjuangan.
Ia dapat
diteropong lebih jauh. Bahwa, pemahaman mengenai Islam dan pemikiran sosialisme,
sebenarnya sudah lama mempengaruhi pandangan masyarakat Indonesia, bahkan
ketika Hindia Belanda masih terjajah oleh bangsa asing. Bisa dikatakan tanpa
kedua pemahaman tersebut, Indonesia yang “merdeka” tidak terbentuk.
Pada masa
pergerakan Indonesia, saat bayangan akan tanah-air-yang-satu sedang mencapai
puncak birahi, jalinan asih Islam dan sosialisme berkembang serta memberikan
pengaruh besar terhadap dinamika perjuangan merebut kemerdekaan. Banyak
pemikiran tokoh pergerakan yang dipengaruhi oleh kedua pemahaman tersebut, salah
satunya Raden Haji Omar Said Tjokroaminoto, atau kiwari awam dipanggil H.O.S. Cokroaminoto.
Ia, yang dikenal berpikiran
luas dan bijaksana, besar impresiya dalam perpolitikan di masa pra-kemerdekaan
Indonesia, termasuk mempengaruhi pemikiran tokoh pergerakan lainnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Manan (2016), Cokroaminoto menjadi guru politik,
sekaligus teman diskusi bagi tokoh pergerakan nasional, seperti Muso, Alimin, Abikoesno, Kartosoewiryo,
bahkan Soekarno.
Berbeda dengan
tokoh berhaluan sosalis lainnya, Cokroaminoto menggabungkan pemikiran sosialis
dengan pemahaman Islam yang dianutnya. Ia melihat adanya persamaan terhadap dua
ideologi besar, yang mempengaruhi peradaban manusia tersebut.
Penolakan Terhadap Sistem Kapitalisme
Amrun, dalam
jurnalnya yang terbit tahun 2017, secara gamblang menjelaskan apa salah satu
persamaan Islam dan sosialisme. Menurutnya, dengan mengutip pemikiran
Cokroaminoto, Islam menolak praktek pembungaan uang (riba). Riba sendiri menjadi
jantung dari kapitalisme, sistem yang ditolak secara keras oleh sosialisme.
Sebagaimana yang
banyak diketahui, pelarangan praktek pembungaan uang ini dilarang oleh Islam
karena dianggap “mencekik dan bentuk tidak kepedulian terhadap sesama manusia”.
Riba, dalam bahasa yang lebih pendek, adalah “praktek pencarian keuntungan atas
derita orang lain”. Praktek ini telah banyak diterapkan pada sistem kapitalisme
yang terus mencengkram kehidupan manusia di dunia.
Dalam sistem
kapitalisme, pelaku ekonom akan selalu terfokus pada akumulasi modal yang terus
diputarkan. Perputaran uang ini akan sempurna dengan adanya modal yang selalu
tersedia. Modal didapatkan dari “mesin penyedot uang” dari sisa-sisa uang di
rumah tangga untuk dipinjamkan, kemudian pembungaannya untuk mengakumulasi
kekayaan. Oleh karena itu, Manan menyimpulkan, “Islam menolak kapitalisme
dengan mengharamkan praktek riba.”
Pembungaan modal
yang dilakukan dalam sistem kapitalisme, membuat akumulasi keuntungan terus
diperoleh kaum borjuasi. Simpanan masyarakat yang terus diputarkan membuat para
bankir memperoleh keuntungan dari rentennya.
Bukan hanya
diperuntukkan konsumsi, keuntungan dari jasa meribakan mata uang juga digunakan
dalam kapitalisme finansial untuk menambah modal dan memperbesar akumulasi
kekayaan yang akan diperolehnya. Pertambahan surplus yang terus menerus
didapatkan oleh pemilik alat produksi membuat ketimpangan kekayaan semakin
tinggi.
Para pemilik modal
mendapatkan surplus yang semakin besar dari hasil keuntungan yang terus
diputarkan. Di sisi lain, kelas pekerja akan terus dieksploitasi dengan upah
yang hanya mampu mencukupi kebutuhan pokoknya. Malahan, para buruh semakin
mengalami kemiskinan karena upah yang reatif tetap untuk beberapa tahun, namun
nilai mata uang terus mengalami inflasi setiap fasenya.
Fakta kesenjangan sosial semacam ini sudah banyak terjadi pada negara yang menerapkan sistem kapitalis di dalamnya. Di Indonesia saja, seperti dipaparkan Prabowo Subianto dalam bukunya Paradoks Indonesia (2017), “angka rasio gini Indonesia menurut Credit Suisse adalah 0,49”, tulisnya. Rasio ini, lanjutnya, “berarti bahwa 1 persen orang terkaya menguasai 49 persen kekayaan Indonesia.”
Islam melarang
penumpukan kekayaan secara berlebih oleh segelintir orang (oligarki). Atau
dalam bahasa Nurlaili (2016), “penumpukan harta atau uang secara berlebih, juga
dapat mendorong manusia cenderung pada sifat tamak, rakus dan membabi buta.”
Sifat inilah yang dimiliki oleh sistem kapitalisme, mereka yang menang akan
terus berakumulasi kekayaan dan yang kalah mengalami kebangkrutan. Sedangkan para
buruh sendiri hanya mendapatkan upah yang besarnya hanya cukup untuk
mepertahankan hidupnya.
Kemiskinan yang
dipelihara oleh sistem yang tak berkeadilan ini sebenarnya ditolak dalam Islam.
Malahan, agama yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW tidak mengenal adanya
kemiskinan. Dalam kitab sucinya, Al-Qur’an menjelaskan bahwa “dan Dia-lah yang memberikan kekayaan dan
kecukupan." (QS. An-Najm (53) :48 ). Ayat tersebut berarti sebenarnya
Allah swt “tidak menciptakan kemiskinan, tetapi kemelaratan ini dibuat oleh
sistem yang tidak berkeadilan dan terus dipelihara oleh manusia itu sendiri.”
Pelarangan
terhadap praktek pembungaan uang dan penolakan terhadap pemiskinan menggambarkan
secara tersurat bahwa Islam menolak sistem kapitalime. Berbagai persamaan yang
dimiliki antara Sosialisme dengan Islam inilah, membuat H.O.S Cokroaminoto akhirnya
memadukannya.
Konsep H.O.S Cokroaminoto tentang Sosialisme Islam
Bagaimana cara
pandang Cokroaminoto, tentang perkawinan Islam dengan sosialime? Dalam kacamata
“Bapak Bangsa” tersebut, sosialisme yang dimaksudkan bukanlah pemikiran dalam
peradaban barat semata. Sosialisme dalam cara pandangnya, adalah berdasarkan
pada kewajiban seorang muslim dalam agama Islam.
Menurut Teguh
(2019), sosialisme “ala-Cokro” adalah paham yang telah berkembang kurang lebih selama
tiga belas abad yang lalu, sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Peribadatan dalam Islam bukan hanya urusan dengan Allah semata.
Akan tetapi, Islam
juga mengajarkan untuk peduli terhadap sesama manusia, seperti ibadah zakat,
infaq, dan shodaqoh, yang memiliki makna memberikan kemaslahatan bagi sesama
manusia. Ajaran yang bersifat sosialistik inilah yang menjadi landasan utama
sosialisme Islam ala H.O.S Cokroaminoto.
Kendati
menggunakan cara pandang Islam, ia tidak pernah mencela ajaran sosialisme yang
dibawa oleh peradaban barat dengan Karl Marx sebagai tokoh kuncinya. Malahan,
Cokroaminoto berterimakasih terhadap Marx karena telah memperjelas ajaran
sosialistik yang dibawakan oleh Muhammad SAW. M.
Kasman (2016)
dalam tulisannya untuk Cokro Corner,
menjelaskan kesepakatan Cokroaminoto terhadap ide-ide sosialisme dikarenakan kemauannya
untuk mengkaji pemikiran Karl Marx dan Engels serta ketekunannya ngaji terhadap firman Allah dalam Al-Quran.
Kendati turunan pemahaman inilah yang membuat Sarekat Islam (SI), organisasi
yang membesarkannya terbelah menjadi dua kubu. Pihak yang nanti salah satunya
menjadi organisasi baru yakni Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menurut Cokroaminoto, Islam dan sosialisme
bukan merupakan antitesis yang berseberangan dan dipertentangkan. Malah
keduanya dapat saling melengkapi dan menghasilkan perpaduan yang apik.
Sosialisme memperjuangkan kebebasan hak untuk kaum proletariat yang selama ini
tertindas oleh sistem kapitalisme. Begitupun Islam yang menekankan untuk peduli
terhadap sesama manusia, terutama masyarakat proletar yang termarjinalkan.
Allah berfirman pada
surat Al Ma’un Ayat 1-3 yang artinya "Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim.
Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin." Ayat ini juga
berlaku ketika ia tidak dapat memberi bantuan karena keadaannya, ia aktif
meminta orang lain untuk memberikan santunan.
Perjuangan meminta
negara memberikan keadilan dan pemilik modal untuk tidak serakah juga menjadi
bagian aktif didalamnya. Malahan keserakahan ini dikatakan sebagai pendusta
agama. Keislamannya dipertanyakan ketika tidak peduli terhadap kaum mustad’afin.
Dalam kacamata
Cokroaminoto yang dikutip Wibisono (2012), “Islam melawan imperialisme dan
kapitalisme karena dinilai memperkosa peri kemanusiaan dan keadilan.” Rasa
kemanusiaan dan solidaritas (ukhuwah)
ini, yang menjadi landasan umat islam untuk seharusnya bersatu dan melawan
segala bentuk ketidakadilan.
Sebagaimana digambarkan
Nabi Besar Muhammad SAW, bahwa umat islam itu “bagaikan tubuh yang saling
berkaitan dan terhubung satu sama lain.” Artinya, apabila satu bagian tubuhnya sakit, yang lain
ikut merasakannya.
Ilustrasi yang digambarkan Rasulullah itu seharusnya menjadi landasan umat Islam untuk melawan sistem kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir orang. Rasa ukhuwah dan solidaritas umat Islam oleh HOS Tjokroaminoto dapat menjadi modal yang kuat dalam menyatukan dan membentuk persepsi, dalam membentuk tatanan Islam yang sebenar-benarnya, masyarakat yang adil dan makmur.
Pemahaman Cokroaminoto tentang Islam dan Sosialisme membuktikan bahwa keduanya bukanlah sesuatu yang selalu harus dipertentangkan. Perseteruan “yang ideologis” antara Islam dan sosialisme yang kini jamak terjadi, sebenarnya telah dijawab olehnya sejak kurang lebih satu abad yang lalu. Keterbukaan pemikiran Cokroaminoto ini seharusnya menjadi teladan oleh umat Islam. Pola pikirnya, terutama dalam melihat sosialisme, sejalan dengan perkataan salah satu sahabat Rasulullah. Ali Bin Abi Talib pernah berkata bahwa:
“Pikirkanlah
apa yang diucapkan, jangan melihat kepada orang yang mengucapkan. Kenalilah
kebenaran itu dengan pengetahuan yang benar, jangan dengan memandang kepada
orangnya” (Mustofa, 2018).
Dengan fokus melihat “apa yang dibicarakan” dan “bukan siapa yang membicarakan”, niscaya akan membuat seseorang tidak mudah taklid buta dan menghakimi sesuatu yang datang dari orang lain. Keterbukaan pikiran semacam ini akan membuat seseorang lebih bijaksana dalam melihat suatu permasalahan dalam kehiduapan umat.
Amirudein Al
Hibbi
Editor: Ahmad
Effendi