Sekelompok pelajar ditangkap oleh polisi selepas Aksi Tahta Untuk Rakyat, Jumat (10/2/2020) |
Malam itu, Polresta Yogyakarta dipenuhi sekelompok pelajar yang digelandang oleh aparat kepolisian. Hal ini menyusul adanya indikasi pelemparan batu oleh sekelompok pelajar selepas Aksi Tahta Untuk Rakyat pada Jumat (10/2/2020).
Setelah serangkaian pemeriksaan,
pelajar-pelajar tersebut akhirnya dilepaskan oleh pihak Kepolisian. Hal itu
terjadi karena tidak adanya indikasi keterlibatan mereka dalam tragedi
pelemparan batu kepada polisi. Selain juga, karena tidak adanya unsur pidana
dan korban saat insiden itu terjadi.
Di malam itu juga, sesaat para pelajar
bersiap-siap untuk meninggalkan kantor polisi sekitar pukul 21:30, wartawan Philosofis
mendadak didatangi salah satu pelajar yang mengaku melihat indikasi
kejanggalan dalam penangkapan tersebut.
Dalam pekat malam, ia tak bisa menutupi
kondisi fisiknya yang kian letih setelah diperiksa berjam-jam oleh aparat. Ia
meminta nomor wartawan kami sambil berbisik-bisik. Selang sehari, ia
menghubungi Philosofis untuk mengemukakan kesaksiannya. Pelajar tersebut
menandai hari Minggu (10/4/2020) sebagai hari dilangsungkannya wawancara.
Demikianlah, berikut hari di Angkringan
Semar menjadi titik pertemuan antara kami (wartawan Philosofis) dan
pelajar yang berinisial SS tersebut. Ia menolak identitasnya diungkap,
mengingat nama dan instansi sekolahnya telah dicatat oleh pihak kepolisian.
Tak seperti di hari saat ia tertangkap,
kala itu ia tampak semangat dengan gaya bicara yang menggebu-gebu. SS tidak
sendiri, kali ini dia ditemani oleh satu temannya R (16). Guna melindungi
narasumber, Philosofis terpaksa merahasiakan identitas beberapa saksi.
Kesaksian Pelajar
SS berkisah bagaimana saat itu polisi
seakan memperlakukan para pelajar bak klitih. Pemuda yang masih duduk di
kelas satu SMA itu juga mengaku dalam proses penangkapan, polisi sesekali
melakukan kekerasan kepada mereka. Tak jarang, mereka juga harus menghadapi
tekanan mental dari pihak aparat.
“Pertama kami mendapatkan kekerasan
psikis, (seolah) di pojokkan seperti anak nakal yang suka tawuran. Padahal,
sebenarnya tujuan kita (adalah) aksi damai,” kisahnya mengawali cerita.
Sesaat sebelum ditangkap, pelajar
membubarkan diri sebelum aksi resmi berakhir. SS pergi meninggalkan lokasi aksi
secara bersama-sama.
Detik-detik Pecahnya Penangkapan
SS mengaku, tatkala mendekati pecahnya
insiden penangkapan, dalam perjalanan pulang, mereka mendapat bentakan dan
intimidasi berupa hentakan sepatu dari pihak polisi. “Sebelum ditangkap kita
ditanyai dengan nada keras, ‘dari sekolah mana?’, tetapi kita tidak menjawab.
Tiba-tiba polisi langsung menggertak kita dengan hentakan sepatunya.”
Tak lama setelah hentakan sepatu dari
kepolisian, sekelebatan selanjutnya, terjadi pengejaran dan penangkapan
terhadap pelajar.
SS sendiri mengaku, detik-detik sebelum
pengejaran oleh polisi, ia sedang menuju Masjid untuk menunaikan ibadah Shalat.
Namun, niat tersebut ia urungkan, menyusul adanya penangkapan.
Polisi mengaku, penangkapan tersebut
dilakukan karena terjadi insiden pelemparan batu ke arah aparat. “Sekitar ada lima batu yang dilempar ke
arah petugas kami. Karena kami dilempari, akhirnya petugas (mengambil) langkah
mengamankan teman-teman yang berpakaian seragam pakaian putih abu-abu,” kata
Kasubag Dalops Polresta Yogyakarta, Hatta Hazarudin.
Di sisi lain, SS mengaku tidak sempat
melihat siapa yang melakukan pelemparan batu. Begitu pula dengan pelajar lain
yang sempat kami wawancarai. Setidaknya, Philosofis berhasil
mewawancarai enam pelajar. Akan tetapi,
ke semua pelajar tersebut tidak mengetahui siapa yang melakukan pelemparan
batu. Begitu pula dengan pihak kepolisian.
Catatan dalam Proses Penangkapan
Lebih jauh, dalam proses pengejaran, SS
memaparkan sempat mendengar polisi berkata kasar kepada pelajar.
“Padahal kita itu hanya lewat, mau
Shalat dan tidak berkata kasar sama sekali. Padahal yang berkata kasar itu para
polisinya sendiri, misuh-misuh dan berkata ‘bajingan’ sewaktu mengejar
kita (pelajar).” Cerita pemuda yang pernah mengenyam pendidikan santri itu.
Sempat lepas dari riuh pengejaran oleh
Polisi, SS dan R bergegas pulang bersama menggunakan motor. Namun, dalam
perjalanan itulah ia dipergoki mengenakan seragam oleh polisi. Mereka pun
dipaksa turun dari motor. R yang masih mengenakan helm ditempeleng oleh polisi.
“Pas turun dipukul kepalanya, tapi posisi masih pakek helm.” Tutur R
Selama proses penangkapan pelajar,
terlihat beberapa orang yang mengaku warga, turut membantu memburu para
pelajar. Hal tersebut bersamaan dengan tersebarnya isu bahwa para pelajar baru
saja melakukan tawuran dan melempar batu ke rumah warga.
Kehadiran
warga saat proses penangkapan pelajar dikonfirmasi oleh Amel (24), seorang
penjual Wedang Bajigur di Jalan Kenari. Ia berujar, kala ia menjaga dagangannya
ada gerombolan pelajar, sekitar sepuluh orang lari-lari di jalan.
Ia
melihat pelajar di depan angkringan ditangkap. “Awalnya hanya ada polisi yang
naik motor, terus datang mobil polisi. Lalu pelajar yang ditangkap disuruh
masuk mobil polisi itu. Kemudian, warga sini ada yang bantuin nyari di
gang-gang,” imbuhnya.
Beberapa orang yang diduga warga bahkan
terpancing dan menampilkan gimmick akan mengeroyok pelajar. Demikianlah
informasi ini juga telah di konfirmasi oleh salah satu mahasiswa yang menjadi
saksi mata, yakni Mario Adhi
Bahendra. Ia menyaksikan beberapa orang yang diduga warga terlihat emosi.
Menariknya,
menurut kesaksian SS, dalam kondisi mencekam, seolah akan terjadi gesekan
antara warga dan pelajar. Di lain sisi, polisi justru hanya diam dan tidak
mengambil usaha untuk melerai. Kesaksian lainnya adalah dari seorang pelajar
perempuan, Listania namanya.
Ia
mengaku melihat secara langsung perlakuan buruk polisi terhadap pelajar.
"Aku lihat di depan mataku, (ada yang) sampai dijegal, dipukuli. Terus aku
bilang, 'Pak, bisa dilaporin'. Malah polisinya bilang, 'laporin
apa?'". Hal ini di afirmasi oleh Asfar Yakibuntung selaku Koordinator Umum
Koalisi Masyarakat Resah. Asfar mendapati laporan dari warga tentang kekerasan
yang dilakukan polisi kepada pelajar.
SS
menyadari, penangkapan tersebut demikian terencana dan terorganisir.
Dengan kendaraan angkut dan peralatan yang lengkap, SS melihat polisi sangat
cepat saat mengepung pelajar. Setelah selesai dikumpulkan, pelajar-pelajar
tersebut langsung dimasukkan dalam truk angkut polisi. Beberapa dipaksa
menanggalkan pakaian dan dipaksa berdesak-desakkan. Ia merasa diperlakukan
seperti kriminal saat itu. “Di sana ada 20 anak, kita disuruh duduk di bawah
desak-desakan dengan membuka baju. Jadi kita (diperlakukan seperti) seorang
pelaku kasus kriminal-kriminal pada umumnya.”
Tak cukup sampai di situ, seorang anak
juga dipukul menggunakan pentungan polisi. Helm polisi yang tergantung di truk
dilepaskan dari gantungannya oleh beberapa oknum polisi. Sontak helm-helm
tersebut menimpa kepala beberapa pelajar. Helm pelajar yang tertangkap juga
dilempar secara membabi buta ke dalam truk.
Tak sedikit orang yang berada di bagian
paling dalam truk terkena lemparan helm-helm tersebut. SS sendiri yang sempat
melihat raut wajah polisi di dekatnya, mendapati perlakuan tidak layak. “Saya
melihat raut muka polisi tetapi langsung dibentak dan dilempar memakai botol
air”.
Pelajar di Polresta Yogyakarta
Kala itu langit makin menghitam, secara
tidak sengaja wartawan Philosofis berpapasan dengan mobil angkut polisi
yang berisi para pelajar. Kami mengikuti mobil tersebut, sampai akhirnya berhenti di Polresta Yogyakarta. Dari hasil pantauan Philosofis, terlihat para
pelajar dijejerkan di lapangan parkir Polresta Yogyakarta, tak jarang mereka
dibentak oleh aparat.
Wartawan kami mencoba mendokumentasikan
kondisi kejadian. Beberapa polisi mencoba melarang kami melakukan upaya
dokumentasi. Kami hanya diizinkan melakukan dokumentasi dalam bentuk foto dan
bukan video.
Sekitar pukul 18.30 WIB, kelompok
mahasiswa dari Koalisi Masyarakat Resah mendatangi Polresta Yogyakarta. SS
mengaku terjadi perubahan sikap sesaat setelah mahasiswa hadir di lokasi
kejadian. Menurutnya, sikap polisi lebih melunak sesudah hadirnya mahasiswa.
Sedangkan menurut hasil pantauan Philosofis,
setelah para mahasiswa hadir, intensitas ucapan dengan nada yang tinggi
berangsur-angsur berubah menjadi sikap yang lebih mengarah kepada anjuran dan
motivasi kepada pelajar. Barulah sekitar
setengah sepuluh malam, pelajar dilepas oleh polisi.
Selepas
insiden tersebut, wartawan kami sempat menemui lagi Asfar Yakibuntung, pada
Minggu (3/10/2020). Pria yang berasal dari Flores ini menyayangkan tindakan dan
unprofesionalitas aparat kepolisian. Ia juga mencoba menggugat klaim
polisi terkait insiden pelemparan batu dan tuduhan pelajar melakukan tawuran.
“Kalau memang
betul mereka melempar polisi, mana polisi yang terkena lemparan batu? Kan tidak ada dan tidak ada barang bukti.
Kalau memang tawuran, ya pasti otomatis di jalanan banyak bebatuan, nah ini
nggak ada sama sekali setelah kita survei di jalanan.”
Asfar juga mengapresiasi militansi para
pelajar dan berharap semangat tersebut bisa menyebar di wilayah lain. “Sangat
apresiasi kepada kawan-kawan pelajar
yang hari ini mereka sudah memperjuangkan yang menjadi hak kita
bersama. Saya berharap militansi dan semangat kawan-kawan pelajar di
Yogyakarta (menyebar) di seluruh Indonesia. Ini merupakan kisah heroik
kawan-kawan pelajar!” Pungkasnya.
Sebelum mengakhiri wawancara bersama
SS, wartawan kami sempat mengajukan pertanyaan mengapa setelah ditangkap, ia
masih berani menemui dan mengungkap kejadian tersebut. Ia pun menjawab, “Kita bener
kok, ngapain takut”. Demikianlah kalimat tersebut menjadi penutup berita
ini.
Rachmad Ganta Semendawai
Rachmad Ganta Semendawai, Nadiah Nur Azizah
Editor: Farras Pradana