Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Dari teologi abad pertengahan sampai teologi modern,
wacana yang mendominasi ruang teologi Kristen adalah wacana keilahian. Titik
tolak berteologi ini berubah kemudian hari, semenjak era teologi kontemporer
atau banyak juga sarjana yang menyebut era teologi post-modern.
Filsafat Immanuel Kant sampai Nietzsche membawa sebuah
fondasi awal terhadap perkembangan teologi kontemporer. Meski kemudian hari,
filsuf-filsuf post-modernis, seperti Michael Foucault, Roland Barthes, sampai
Derrida, memberi pengaruh besar kepada teologi kontemporer.
Salah satu teolog yang membawa pengaruh diskursus besar
bagi teologi Kristen kontemporer adalah Jurgen Moltmann. Moltmann menamakan
teologi kontemporer sebagai teologi eksperimental atau teologi dialogis.
Ia memaknai teologi sebagai sebuah upaya keterbukaan
kepada dunia. Keterbukaan ini adalah sebagai upaya teologis untuk mengikatkan
diri kepada perjuangan dalam menegakkan kebenaran dan pembebasan dari
penindasan.
Corak berteologi di era kontemporer bukan lagi seperti
era modern atau abad pertengahan, tak ada yang memisahkan realitas sosial
dengan kehidupan spiritual. Sehingga teologi tidak lagi didominasi oleh
wacana-wacana keilahian semata.
Teologi Kristen era kontemporer secara radikal,
mengangkat problem-problem kemanusiaan sebagai titik tolak berteologi. Konteks
inilah yang menjadi titik utama dalam merefleksikan feminisme dan teologi
Kristen.
Filsafat Feminisme dan Teologi Kontemporer.
Dialog antara filsafat dan kekristenan bukan hal yang
asing. Sebagaimana filsafat Aristoteles mempengaruhi konstruksi teologi
Aquinas, filsafat Immanuel Kant mempengaruhi teologi Karl Barth, filsuf-filsuf
mazhab Frankfurt mempengaruhi Jurgen Moltmann. Begitu juga filsafat feminisme
mempengaruhi teologi kontemporer.
Feminisme sebagai sebuah konstruksi wacana muncul
semenjak abad 18 sampai 19, terdapat beberapa pemikir besar feminisme seperti
Mary Wollstonecraft dan Elizabeth Cady Stanton, sampai Emma Goldman. Para
sarjana menamakan era ini sebagai feminisme gelombang pertama.
Era ini berakhir ditandai dengan munculnya Simon de
Beauvoir, seorang filsuf feminisme eksistensialis. Ia membuat karya penting
yang berjudul The Second Sex dan dipublikasikan tahun 1949. Karya ini
sangat mempengaruhi diskursus filsafat feminisme di kemudian hari, terutama
berkaitan dengan kedudukan inferior dan status eksistensial perempuan.
Pengaruh dan perkembangan wacana ini akhirnya berimbas
kepada kajian sejarah, kajian sastra, hingga kajian teologi. Kajian teologi yang
dipengaruhi feminisme kemudian hari disebut sebagai teologi feminis. Elizabeth
Cady Stanton menggagas Women's Bible pada 1895, yaitu sebuah komentar
terhadap Alkitab (bible) dalam kacamata feminisme.
Dalam tradisi tafsir Alkitab terdapat istilah komentar
“biblikal” (bible commentary). Salah satu contoh komentar biblikal yang
terkenal adalah Matthew Henry's Commentary on The Whole Bible. Apa yang
dilakukan Elizabeth Cady Stanton adalah komentar biblikal. Dari kitab Kejadian
sampai Wahyu, ia memberi tafsir, telaah, dan rekonstruksi kontekstual kepada
ayat - ayat Alkitab dari perspektif perempuan.
Stanton melakukan penulisan Women's Bible bersama
dua puluh enam ahli tafsir, ahli bahasa Yunani dan Ibrani, dan para teolog
perempuan. Proyek ini menandai sebuah permulaan wacana feminisme dalam teologi
Kristen.
Para teolog-feminis selanjutnya semakin banyak ditemukan
dalam era kontemporer. Pijakan intelektual yang terdapat pada teologi modern
membuat wacana teologi feminis berkembang lebih jauh. Tahun 1968, Mary Daly,
seorang teolog feminis, membuat sebuah karya berjudul The Church and The
Second Sex.
Karya ini berangkat dari gagasan Simon de Beauvoir
tentang second sex dan wacana inferioritas perempuan. Daly mengembangkan
gagasan de Beauvoir untuk melihat konstruksi teologis kekristenan tentang
perempuan, kedudukan perempuan dalam gereja, sampai pengaruh konstruksi
patriarkis Yudaisme bagi kekristenan. Mary Daly, Radford Ruether, sampai
Elizabeth Fiorenza adalah nama nama teolog feminis yang sangat berpengaruh
dalam teologi kontemporer, terutama di era 1960 sampai 1980-an.
Selanjutnya terjadi pertemuan wacana yang semakin
kompleks antara teologi feminis, teori gender, filsafat pos-strukturalisme, dan
pos-modernisme. Filsuf seperti Michael Foucault dan Judith Butler dengan wacana
teori gender dan homoseksualitas membawa pengaruh besar bagi teologi feminis.
Era ini dimulai dengan kemunculan teolog feminis dan
teolog queer, seperti Marcella Altahuis-Reid, Margaret Kamitsuka, sampai
Patrick Cheng. Para teolog ini mengembangkan apa yang dimulai sejak akhir abad
19 dan awal abad 20. Era ini dipenuhi keterbukaan dialog teologis tentang
homoseksualitas, diversifikasi gender, sampai pembebasan perempuan. Mengenai
perkembangan kajian teologi feminis dan isu gender secara post-strukturalis
akan penulis bahas dalam tulisan lain.
**
Dari telaah sederhana tentang perkembangan feminisme dan
irisannya dengan teologi Kristen, kita bisa melihat bahwa membicarakan teologi
tidak pernah sederhana. Membicarakan agama, membicarakan Tuhan, membicarakan
moralitas, membicarakan nilai dan norma teologis tidak pernah sederhana dan
hitam putih.
Dalam konteks ini kita melihat sisi logos dalam
teologi, bahwa pada akhirnya teologi pun adalah sebuah kajian yang penuh
sistematika dan struktur. Pertemuan antara wacana filsafat, kenyataan sosial,
dan problematik ilahi, adalah hal yang penuh dialektika. Untuk itu diperlukan
dialog teologis seperti gagasan Moltmann, agar terjadi sebuah jembatan
pemahaman dari berbagai dimensi.
Upaya penelusuran historis dan filosofis yang penulis
susun ini hanyalah sebuah proyek pemetaan diskursus. Dengan menelaah peta
sederhana ini, kita hanyalah seorang penjelajah kecil dalam hutan belantara
teologi dan filsafat. Sehingga, menurut penulis, tak ada lagi alasan bagi para
akademisi, khususnya mahasiswa, untuk lebih dahulu berprasangka kepada
feminisme dan kajian gender. Lebih ironis lagi, jika prasangka itu dibangun
sebelum menjelajah hutan belantara diskursus.
Dari Moltmann sampai Patrick Cheng, dari Kant sampai
Foucault, dari Elizabeth Cady Stanton sampai Mary Daly, kita bisa melihat bahwa
pemahaman akan Tuhan melalui teologi adalah sebuah upaya penjelajahan iman.
Iman tak sesederhana rasa percaya saja, menurut Thomas
Aquinas, proses iman adalah cum assensione sentire. Artinya, proses
beriman adalah proses berpikir sambil menyetujui. Maka, iman tak statis, tidak
menutup mata dan telinga. Iman selalu membuka diri pada penjelajahan, pada
realitas sosial - politik, pada skeptisisme, pada sains dan teknologi.
Sampai pada akhirnya timbul beberapa pertanyaan: Apakah
kita punya cukup keberanian untuk menjalani petualangan diskursus ini? Atau
kita sudah merasa aman dengan bersembunyi dalam tembok kemapanan beragama?
Sembari menghindari realitas sosial, sembari menghakimi mana "yang benar" dan "yang salah" dengan kacamata kuda. Sembari menutup telinga dialog teologis, lalu, berprasangka tanpa lebih dulu menjelajahi hutan belantara yang penuh realitas, penuh pergulatan dialektis, penuh peperangan das Sein - das Sollen.
========
Tulisan ini dipersembahkan untuk diskusi "Ada Apa Dengan Feminisme dan Agama?"
Amos
Editor: Rachmad Ganta Semendawai