Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dengan konsep Omnibus Law menyasar enam undang-undang di sektor pendidikan dan kebudayaan (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Guru dan Dosen, Undang-Undang Pendidikan Nasional, Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, Undang-Undang Kebidanan, dan Undang-Undang Perfilman) berusaha disahkan oleh pemerintahan. Darmaningtyas menyebut roh RUU ini adalah komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan. Jika disahkan oleh Jokowi, berarti ia melanggar nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karenanya, berbagai elemen masyarakat: aktivis lingkungan, aktivis berbasis gender, mahasiswa, akademisi, buruh, tokoh agama, komunitas adat dan keagamaan serta elemen lainnya, menolak pengesahan RUU Cipta Kerja. Akan tetapi, saya heran, kenapa tidak ada institusi perguruan tinggi yang menyikapi RUU Cipta Kerja? Para dosen dan profesor Universitas Negeri Yogyakarta tuh pada ngapain?
Sebelumnya, pertanyaan ini juga hadir saat terjadi gelombang penolakan terhadap RKUHP, sekitar September 2019 silam. Ketika para mahasiswa dari berbagai kampus berdemonstrasi di jalanan, para birokrat perguruan tinggi ini malah beramai-ramai mengeluarkan surat himbauan agar mahasiswa tidak usah mengikuti aksi. Dalih mereka, takut para mahasiswanya ditunggangi oleh golongan tertentu. Sebuah alasan anti-politis yang tak berdasar, nan malah dengan jelas memperlihatkan perguruan tinggi hari ini sudah jauh dari fungsinya sebagai produsen ilmu pengetahuan yang berpihak pada rakyat.
*
Sejak Indonesia menggulirkan reformasi pendidikan tinggi berasas wacana Bank Dunia dan World Trade Organization (WTO), ideologi ekonomi liberal diadopsi oleh perguruan tinggi. Konsekuensi paling tampak dari peneguhan kekuasaan pasar adalah komersialisasi dan pencabutan sedikit-demi-sedikit subsidi oleh negara atas pendidikan tinggi dengan dalih otonomi kampus.
Di mana pendidikan justru menjadi wahana komersialisasi, subversi institusi publik oleh kepentingan privat dan mengakibatkan proses pendidikan dilakukan di atas fondasi komersial, bukan pada distribusi pengetahuan atau pengembangan pengetahuan.
Biaya kuliah yang kian hari kian mahal kemudian berakibat pada perubahan cara berpengetahuan. Kerangka berproses dan metode berpengetahuan perguruan tinggi (dan sivitas akademika di dalamnya) mengabaikan atau malah menghilangkan dimensi kemanusiaan (humanity) dalam pendidikan. Mereka justru melayani status quo dan tidak memberikan alternatif keadilan, tradisi, atau kemanusiaan.
Privatisasi pendidikan, menurut Dianne Rey dalam Universities and The Reproduction of Inequality (2011), membuat kampus bukan sebagai wadah pembebasan, tapi menjadi alat reproduksi dari ketimpangan sosial. Fondasi komersialisasi dan privatisasi menjadikan perguruan tinggi sebagai entitas “privat” yang berlomba-lomba untuk melahirkan tenaga kerja yang ujung-ujungnya dieksploitasi, alih-alih mencetak intelektual yang terlibat aktif dalam produksi pengetahuan dalam semua level profesi yang digeluti.
Sebagai contoh sederhana, ada fenomena “the winners and the losers”. Bagaimana departemen atau jurusan dan fakultas yang tidak memiliki kesempatan pasar yang kuat dan permintaan pasar yang besar disegerakan untuk ditutup. Sedang departemen atau jurusan sesuai permintaan pasar: jurusan yang sifatnya practice-industrial ketimbang teoretis atau berbau pengetahuan dibuka oleh universitas secara masif.
Saya jadi inget komentar Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy, yang mengatakan bahwa sebaran program studi di perguruan tinggi tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Kasihan, jurusan filsafat atau sejarah atau sastra Indonesia mungkin bakal ditutup kalo begini.
Menurut Heru Nugroho pada Negera, Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam (2012), adanya kekuasaan pasar pada kehidupan perguruan tinggi yang terserap dalam kebijakan-kebijakan universitas bidang kurikulum, melahirkan sebuah “banalitas intelektual,” yaitu munculnya intelektual yang gemar mengerjakan proyek, tampil sebagai selebriti akademik, tapi melupakan produksi pengetahuan di kampusnya.
Masuknya peneliti sosial ke ruang publik juga jarang mencerdaskan kualitas diskusi dan perdebatan. Sebaliknya, wawasan dan wacana para ilmuwan ini ditundukkan oleh logika industri media massa—pun media sosial belakangan. Bahkan, gaya berdiskusi ala televisi merasuk ruang seminar dan kelas kampus serta penulisan karya ilmiah. Serba pendek-pendek, cenderung simplifikasi masalah dan terpenting menghibur.
Alih-alih menegaskan jati dirinya sebagai lokus pembedah pengetahuan, pengkaji kebijakan publik dan berusaha mencipta alternatif keadilan, para universitas malah sibuk mempercantik diri. Membisu dalam keramaian isu.
*
Diskursus Omnibus Law RUU Cipta Kerja tak hadir dalam kehidupan perkuliahan di Universitas Negeri Yogyakarta. Selain dari kawan-kawan Aliansi UNY Bergerak dan sebagian kecil BEM, saya sama sekali tak mendengar UNY menggelar diskusi soal RUU kontroversial tersebut. Kampus bukan lagi sebagai pusat keresahan menular.
Padahal, mengetahui Omnibus Law RUU Cipta Kerja termasuk merevisi enam undang-undang sektor pendidikan dan kebudayaan, wajarnya kampus pendidikan atau sebelumnya disebut kampus keperguruan ini segera menyikapinya. Hal ini juga berimplikasi tentang penerapan Kampus Merdeka. Kurikulum yang dimakan bulat-bulat oleh UNY dan perguruan tinggi lain. Terutama, apa cocok diterapkan saat kondisi pandemi Covid-19?
Para dosen UNY pun belum mendukung mahasiswanya dalam menentang legitimasi pemerintah, menentang kebijakan pemerintah yang pro-korporasi, dan menentang sistem pendidikan negara. Apa terlalu berlebihan? Oke, Dosen UNY perlu mendukung mahasiswa dalam isu lingkup kampus saja. Yuk kita tuntut keterbukaan UKT, adanya peraturan penghapusan kekerasan seksual yang berperspektif korban, dan fasilitas untuk disabilitas, serta dosen lansia.
Dan lagi, kalo saya boleh berharap—jarang saya melakukan ini, atas nama pengetahuan dan nalar sehat, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri ataupun Swasta menyatakan sikapnya terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Dan kami, mahasiswa, akan apresiasi sekali jika ada Rektor Perguruan Tinggi yang lantang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Tapi maaf sebelumnya, saya tak berani berharap pada
selebriti-akademik laiknya Sutrisna Wibawa. Biarpun doi rektorku,
sependek-sepengetahuan saya, doi sudah tersibukkan dengan kegiatan pra-Pilkada
Gunungkidul. Sudah, ga usa diganggu lur~[]
Editor: Rachmad Ganta Semendawai