Dikirim oleh: Prasastyo
Illustrasi: Sweetsandpie |
Adanya
akun-akun persona tanpa nama atau yang biasa disebut anonim. Baru-baru ini mulai menjamur selaras dengan
kian populernya sosial media di masa modern ini. Hal ini dapat dilihat mulai
dari Blog, Instagram ataupun Twitter. Twitter menjadi catatan tersendiri bagi
saya, di mana platform tersebut menjadi ladang diskusi, pun juga ladang
ribut.
Sering kali
terjadi pembahasan pembahasan topik apa pun berakhir dengan perdebatan. Iya,
saya ulangi “apa pun”. Sampai perihal remeh-temeh seperti berbeda cara menikmati
bubur ayam saja, sampai ada yang memperdebatkan (walaupun dalam konteks
bercanda).
Perdebatan yang
menyangkut hal-hal yang bernilai kehidupan sehari-hari pun turut meramaikan
sarang si burung kecil biru ini. Misalnya saja topik tentang seorang wanita
yang memasakkan suaminya tiap hari untuk bekal makan siang. Hal seperti ini pun
sampai ribut antara yang pro dan kontra.
Bahwa prihal yang sangat
wajar, bila seorang wanita melayani dan menyayangi suaminya dengan memasakkan
bekal. Argumennya tidak
jauh-jauh dari gender role pun muncul. Para aktivis penggiat feminisme
menilai hal itu sebagai bentuk submisi perempuan pada lelaki. Di mana dalam
perkara ini harusnya setara. Dilain sisi kelompok konservatif tetap berpegang
dengan nilai luhur yang mereka junjung tinggi.
Buzzer Beraksi
Setali tiga
uang dengan hal di atas, kini kehidupan politik pun mulai diramaikan dengan buzzer—akun-akun
anonim—yang menggaungkan suatu narasi. Umumnya mereka membangun narasi-narasi
kritik keras yang biasanya kontra dengan kebijakan tertentu. Bahkan lebih dari
itu, kadang memang memprovokasi karena punya agenda tertentu. Begitupula buzzer itu pun juga dilawan dengan buzzer lagi
untuk memberikan counter narative kepada narasi utama.
Perdebatan para
buzzer ini tak jarang demikian mendistorsi kita sebagai para awam untuk
mencari kebenaran di sosial media terhadap suatu isu. Kita mencoba mencari
orang-orang yang sependapat dengan kita atau yang tidak sependapat. Hal ini
demi mengais argumen yang masuk akal sebagai pandangan alternatif.
Sayangnya yang
kita dapatkan hanya name calling, saling cap, ancam, atau doxing yang
dilakukan oleh buzzer kedua kubu. Hal ini sangat tidak baik untuk
membangun diskursus terhadap suatu isu. Jadi kita sebagai pencari informasi juga
malah kadang ikut terpancing untuk ikut di perdebatan semu tersebut. Debat
kusir tidak berguna. Dalam kasus yang lebih spesifik, saya ingin memberi
pandangan tentang akun twitter @KabarUNY.
Colek Boy Is
Riyadi
Sekilas akun
dengan nama pengguna @KabarUNY tersebut seolah-olah memberitakan apa yang
terjadi di UNY. Akan tetapi, setelah saya baca-baca lebih jauh akun tersebut,
nyatanya @KabarUNY hanya akun persona anonim yang dibuat secara khusus untuk
mengkritik kebijakan-kebijakan kurang pas di UNY. Okelah, sampai di situ
saya paham dan saya juga masih setuju kenapa harus ada akun seperti @KabarUNY.
Pun pada akhirnya ia juga berperan sebagai penyambung lidah para mahasiswa yang
terkena dampak langsung dari kebijakan-kebijakan kampus.
Namun, pada
perkembangannya saya lihat akun tersebut terlalu berfokus pada pemangku jabatan
Rektor, tepatnya Sutrisna Wibawa (SW). Di mana kebetulan juga saudara SW ini
sudah mendeklarasikan diri untuk maju sebagai calon bupati Gunung Kidul pada
Pilkada 2020. Narasi utama yang dibawa oleh @KabarUNY adalah seorang SW tidak
amanah, pribadi yang suka cari muka (gimmick), menyalahgunakan
fasilitas, punya intensi terselubung dalam pembangunan kampus di Semanu dan
lain-lain.
Saya juga
sebagai mahasiswa tingkat akhir awalnya setuju dengan narasi-narasi yang ia
bawa. Karena argumen yang ia bawa cukup masuk akal dan masih wajar sekali
seorang mahasiswa UNY berpikiran demikian. Di mana mahasiswa hanya dinomorduakan
dan hanya digunakan sebagai ladang suara kampanye politik. Akan tetapi, ada hal
yang mengganggu pikiran saya untuk mempertanyakan lebih jauh kredibilitas akun
kritik anonim @KabarUNY. Karena bagi saya dia tidak punya akuntabilitas.
Saya pernah
berdiskusi dengan seorang pria paruh baya dari akar rumput Gunung Kidul
(Seorang bapak-bapak dengan dua anak, di cakruk pos ronda). Dia berpendapat
bahwa apa yang dilakukan SW memang tidak sepenuhnya tepat. Akan tetapi, jika
intensinya demi membangun Gunung Kidul,
itu semua masih dapat dibenarkan. Toh menurut dia hajat hidup 700.000 lebih orang GK jauh lebih
penting dan jauh lebih nyata daripada hajat hidup orang-orang di Universitas
Negeri Yogyakarta. Dari situ saya mulai berpikir keras, dan akhirnya saya
semakin mempertanyakan kredibilitas @KabarUNY dalam memberitakan dan
menarasikan isu SW tersebut.
Ikut Diskusi
Awalnya saya tertarik ingin bertemu dengan pemilik akun tersebut. Berikut hari saya dengan baik-baik memperkenalkan diri saya melalui DM Twitter. Nama, asal, dan jurusan saya saya kenalkan di situ. Saya menawarkan untuk berdiskusi dengan format serius, tanya-jawab dan direkam (on record) untuk dipertanggungjawabkan nantinya kepada publik. Lamun, itu ditolak mentah-mentah olehnya.
Setelah itu
saya semakin yakin bahwa akun tersebut akuntabilitasnya perlu dipertanyakan
dengan keras. Sehingga beberapa tweet dia saya reply dengan bahasa yang
kalem sopan untuk mengajak diskusi melihat dari sudut pandang yang berbeda.
Meskipun demikian, yang terjadi justru sungguh mengecewakan. Saya langsung
diserbu segerombolan pengikutnya yang sepaham dengan dia.
Semua langsung menyerbu saya dan bukan opini saya. Kata-kata seperti “belajar dulu bego”, “kakean fafifu”, “rasah elitis”, dan lain-lain, digunakan untuk mereply tweet sudut pandang saya. Saya kecewa sekali karena para mahasiswa ini saat diajak diskusi justru demikian. Bukannya substansi bahasan yang ditonjolkan, tetapi malah cenderung debat kusir. Karena saya orang debat, maka saya paham betul pentingnya membangun diskursus dan pandangan alternatif dalam mendalami sebuah isu.
Saya memutuskan
tidak bisa terus seperti ini, sehingga saya menyusun strategi untuk bagaimana
saya bisa challange @KabarUNY. Akhirnya saya putuskan untuk membuat dua
akun anonim juga @ASACSchraderUNY dan @SteveGomezUNY untuk memberikan counter
narative dari @KabarUNY. Saya gunakan narasi keras untuk melawan narasi
keras @KabarUNY. Karena saya pikir harus mengalahkan api dengan api, to
fight fire with fire. Biarkan mereka merasakan pil merah mereka sendiri
dengan melawan akun anonim.
Sampai di suatu
titik mereka tetap bersikukuh untuk tidak pernah menggagas isi substansi
bahasan. Demikianlah yang terjadi berikutnya adalah di luar nalar saya dan
jujur bahkan saya tidak menduga ia akan melakukan hal serendah itu. Dia
melakukan “doxing!”
Saya di-dox di
akun Menfess UNY dengan kata-kata yang sungguh membuat saya tersinggung. Nama
lengkap saya disebutkan dan jurusan serta fakultas saya juga. Saya kecewa
sekali, dia anonim, seharusnya melawan argumen akun anonim, tapi malah
menggunakan doxing sebagai senjata.
Akun-akun
anonim tersebut sejatinya susah sekali untuk diminta pertanggungjawaban dari
apa yang mereka ketik atau katakan. Kalau di debat, ada konsep “Burden of
Proof” di mana kami harus menjelaskan dengan rinci membuktikan apa yang
kami narasikan dengan fakta dan bukti nyata. Step by step dengan runtut,
sehingga secara nalar dan logika mudah dicerna bahkan untuk orang awam non
akademisi sekalipun.
Namun, di @KabarUNY saya tidak melihat dia melakukan “Burden of Proof” sama
sekali. Ia hanya memberikan narasi-narasi dan kadang berita provokasi untuk
digelindingkan sebagai bola liar kepada khalayak. Khususnya khalayak Twitter
mahasiswa UNY itu sendiri. Mereka lupa bahwa sosok SW ini sosok yang akan maju
sebagai tokoh politik di suatu daerah. Di Gunung Kidul. Jika sosok SW ini
personanya dihabiskan maka kasihan para rakyat Gunung Kidul.
Demi Gunung
Kidul, Menggugat @KabarUNY
Seburuk buruknya trait SW ini, dia punya banyak janji politik yang nantinya bisa ditagih. Harusnya SW diberi kesempatan untuk membuktikan janji-janjinya. Karena sejatinya pengabdian tertinggi seorang putra Gunung Kidul untuk membangun Gunung Kidul Handayani ialah dengan menjadi pemangku jabatan eksekutif di posisi Bupati. Dia WNI dan Warga Gunung Kidul, dia mempunyai hak untuk memilih dan dipilih.
Sedikit berbeda
dengan konsep pseudonim yang saya gunakan untuk menarasikan pandangan saya
tentang isu SW ini. Di mana di pseudonim atau nama pena saya masih dapat
dilacak identitasnya untuk dimintai pertanggungjawaban atas tulisan atau
perkataan saya. Berbanding terbalik dengan akun full anon seperti @KabarUNY yang BoP tidak dapat diminta dan segala perkataannya tidak
dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Dari awal saya
memberi challange kepada @KabarUNY dengan intensi saya yang sudah jelas,
demi memberikan diskusi berimbang tidak hanya narasi satu sisi saja. Saya tidak
mengejar ketenaran (saya tidak pernah mempublikasikan nama asli) dan saya juga
tidak mengejar uang. Apalagi uang bancakan kampanye politik, haram sekali
menurut saya menyentuh area seperti itu. Sebagai mahasiswa dan pemuda kita
harus memiliki integritas tinggi. Maka jangan mau ditawar integritas kita hanya
demi pundi-pundi rupiah.
Karena
sejatinya uang itu secara materiil tidak bernilai. Uang hanya selembar kertas
yang mempunyai nilai jika kita mempercayainya. Sebagai alat tukar pun uang
sebenarnya memiliki nilai terbatas, paling juga dipakai untuk membeli makanan
atau minuman. Mungkin untuk membangun tempat tinggal dan sandangan. Sudah
sebatas itu saja. Mari kita tanamkan ke diri kita nilai-nilai integritas dan
akuntabilitas demi Gunung Kidul yang lebih sejahtera dan Indonesia yang lebih
maju.
Selanjutnya
dari sini, saya ingin bilang, “Ayolah para mahasiswa. Kita gunakan nalar kritis
kita dengan penuh. Kita nyatakan Idealisme yang kita pegang agar dapat kita manifestasikan dalam kehidupan
sehari-hari.” Jangan lupa jika mengkritik tolong pertimbangkan imbas dari kritik
tersebut. Percayalah bahwa dalam suatu cerita tidak mungkin hanya ada satu sisi
saja. Pasti ada sisi yang lain yang perlu kita gali dan kita bangun perspektif
baru di posisi itu. Sekian dan Terima kasih.
-ES
Editor: Rachmad Ganta