Keberagaman di Indonesia menjadi landasan penerapan
sistem desentralisasi dengan pemberian otonomi terhadap suatu daerah untuk mengelola wilayahnya sendiri. Otonomi
khusus (Otsus) juga diterapkan dengan masing-masing karakteristiknya di
beberapa daerah, termasuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemberian
otonomi khusus membuat D.I.Yogyakarta mendapatkan perlakuan yang “Istimewa” ketimbang provinsi yang lainnya.
Akan tetapi, pertanyaaan baru pun muncul. “Apakah perlakuan
khusus ini dirasakan kemaslahatannya oleh masyarakat luas? Atau hanya
menguntungkan elite feodal daerah semata?”
Ini menjadi
penting untuk diperhatikan, agar kebijakan Otsus dan dana keistimewaan yang
disuntikan setiap tahunnya memang mampu membawa Yogyakarta selangkah lebih maju
dengan daerah lainnya. Seperti yang dilansir detik.com pada 28 Oktober
2019, tahun 2020 saja, berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN 2020. Di
mana pada Pasal 14 disebutkan, total Dana Otonomi Khusus dan Keistimewaan yang
digelontorkan di Yogyakarta mencapai angka sebesar Rp 22 Triliun.
Sistem
feodalisme yang masih mengakar kuat, dengan kepemimpinan Sultan secara
turun-temurun, juga tetap dilegalkan dalam negara yang berbungkus kerakyatan.
Walaupun perlakuan khusus terhadap elite aristokrat ini, jelas
bertentangan dengan nilai-nilai universalitas dalam demokrasi.
Potret Kelas Pekerja di Yogyakarta
Alokasi dana
yang selalu disuntikan setiap tahunnya, bertujuan untuk mengembangkan potensi
daerah dengan “keistimewaan” yang dimiliki oleh Yogyakarta. Secara ekonomi,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Latifah (2018), tujuan kebijakan
Otsus dan keistimewaan adalah untuk menyejahterakan masyarakat lokal. Akan
tetapi, status “Keistimewaan” dan otonomi khusus yang disandang oleh D.I.Yogyakarta
nyatanya kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.
Angka
masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan cukup tinggi di Yogyakarta.
Berdasarkan Badan Pusat Statistika (BPS) Provinsi D.I.Yogyakarta, penduduk
miskin Yogyakarta berada pada kisaran 11,81%. Persentase ini setara dengan 456
ribu dari total populasi penduduknya. Ini sungguh memilukan, mengingat dana
yang disuapkan oleh pemerintah pusat terhadap Yogyakarta cukup besar dan
berbeda dengan daerah lainnya. Di satu sisi, rata-rata angka kemiskinan
nasional hanya sebesar 9,66%. Walaupun, ini angka yang tidaklah kecil, namun
kemiskinan di Yogyakarta jauh lebih buruk.
Tingginya
tingkat kemiskinan di Yogyakarta tidak terlepas dari rendahnya perhatian
pemerintah terhadap kelas pekerja. Strata sosial yang terendah, namun menjadi
mayoritas dalam suatu tatanan masyarakat. Daerah yang dikenal dengan kota
metropolit ini memiliki upah buruh yang cukup rendah. Keraton arsitektur Jawa
dan bangunan khas perkotaan yang gagah berdiri megah tidak menjadi cerminan
adanya kesejahteraan ketika bekerja di kota “kebudayaan” tersebut.
Berdasarkan pengelompokan usia, jumlah penduduk usia
produktif (15-65 tahun) di Indonesia terus mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Menurut Survei Penduduk antar Sensus (Supas) 2015 seperti yang dilansir databoks.katadata.co.id
(2/1/2020), jumlah penduduk usia produktif di Indonesia mencapai 185,22
juta jiwa atau sekitar 68,7% dari total populasi.
Banyak ahli ekonomi sering mengaitkan, melimpahnya populasi umur produktif dengan “Bonus
Demografi”. Pemerintah meyakini banyaknya stok kelas pekerja akan memberikan
dampak bagi pertumbuhan ekonomi makro (Wulandari: 2020). Akan tetapi,
sebenarnya kenaikan penduduk usia produktif justru akan menyebabkan
permasalahan yang baru, seperti pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan
sosial. Jelas itu terjadi, jika lapangan pekerjaan tidak berbanding lurus
dengan banyaknya tenaga kerja yang mengantre. Oleh karenanya, angkatan kerja
ini hanya akan menjadi “tentara cadangan pekerja” atau “surplus populasi
relatif” (Marx: 1976).
Apalagi
konteksnya di daerah dengan industrialisasi yang masih cukup rendah, seperti
Yogyakarta. Daerah ini memang dikenal lebih metropolit dan memiliki
daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin berlibur. Namun, pengembangan
pada sektor industri dan penyerapan tenaga kerja masih cukup rendah
dibandingkan daerah lain, seperti DKI Jakarta, Bekasi, Semarang, serta daerah
industri lainnya. Kesenjangan dalam pasar tenaga kerja ini menimbulkan posisi
tawar yang rendah dari kelas
pekerja terhadap pengusaha.
Buruh/karyawan akan dengan mudah
dipecat dan digantikan oleh yang lain karena masih banyak orang yang mengantre
mengharapkan pekerjaan. Atas motif inilah, jutaan kelas pekerja kerah biru
bersedia di gaji dengan upah murah, UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten) di D.I. Yogyakarta.
Potret pengupahan murah di
Yogyakarta kian diperparah dengan pelegalan sistem upah regional yang berlaku
sekarang ini. Kini, penentuan upah merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 78
Tahun 2015 (selanjutnya
disebut: PP 78) tentang Pengupahan, yang merombak secara fundamental
besaran upah yang berlaku sejak tahun 1989.
Kebijakan
penentuan upah, selama ini melalui mekanisme survei harga kebutuhan oleh buruh,
pengusaha, dan pemerintah kemudian disesuaikan dengan faktor-faktor ekonomi
lain di sektor regional (Hadiz: 1997). Saat ini, mekanisme penentuan upah masih
menggunakan rumus baku berupa pertumbuhan ekonomi ditambah dengan inflasi.
Penetapan upah menggunakan rumus baku tersebut, menegaskan bahwa pasar memiliki
peran penting dalam sistem kerja yang berlaku di Indonesia.
Peran pasar yang dominan ini,
sejalan dengan agenda utama pembangunan Indonesia dengan tujuan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional. Perspektif tersebut dilatarbelakangi atas asumsi
bahwa semakin tinggi daya saing, maka kian tinggi angka statistik pertumbuhan
ekonomi. Hal ini berimplikasi semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan
masyarakat (Setkab: 2017). Atas dasar kacamata ini, pengaruh pasar yang dominan
menjadi tolok ukur penentuan upah minimum, yang sebelumnya belum pernah
diterapkan.
Memang sungguh
ironi, kebijakan yang nantinya mempengaruhi nasib hidup manusia hanya
digantungkan pada rumus hitung-menghitung yang tak mampu melihat berbagai sisi
kehidupan yang ditentukan olehnya. Pada akhirnya, nyawa manusia hanya dijadikan
sebagai komoditas bisnis belaka. Pun lagi-lagi
capaian ekonomi lebih seksi dalam kacamata negara daripada indeks kebahagiaan.
Pemberlakuan peraturan pelaksana
tentang pengupahan tersebut meniadakan hak buruh dalam merundingkan nasib hidup
mereka. Sebelum pemberlakuan PP 78, penetapan besaran upah didasarkan mekanisme
survei tripartite yang melibatkan buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Mekanisme survei pasar memberikan ruang terhadap perjuangan buruh dalam
menetapkan besarnya upah melalui konsensus yang akan disepakati secara bersama.
Pemberlakuan mekanisme survei semacam
ini sebenarnya sudah berlaku sejak masa Orde Baru dan berakhir pada masa
Pemerintahan Jokowi tahun 2015, dengan diberlakukan PP 78 tersebut.
Pemberlakuan aturan ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya rezim pada Era
Reformasi, yang katanya melakukan “demokratisasi”, nyatanya justru lebih tidak
demokratis ketimbang Pemerintahan Orde Baru.
Demi
pertumbuhan ekonomi, keberpihakan negara tampak lebih condong kepada pelaku
bisnis (Sunardi: 2017). Tidak mengherankan jika pembangunan akan dilakukan
melalui segala cara, ketika pertumbuhan ekonomi menjadi agenda utamanya. Cara
yang sering diterapkan berupa penciptaan iklim investasi yang santun, terutama
terhadap investor asing. Keramahan terhadap kapitalisasi ini, dilakukan dengan
menghilangkan ijin usaha yang dianggap rumit, termasuk juga menyediakan stok
buruh yang murah.
Eksploitasi
buruh digerakkan untuk memperluas skala produksi dan meningkatkan produktivitas
demi menciptakan laba (Bernstein: 2019). Buruh dilarang ikut menentukan soal
upahnya biar enggak berbelit-belit, dan akan terbentuk dengan sendirinya
melalui rumus baku yang telah ditetapkan. Ini jelas semakin memperlemah daya
tawar dari buruh yang secara politik terpaksa harus patuh terhadap pengusaha,
terlebih daerah dengan industrialisasi yang rendah dan serikat buruh yang tak
cukup kuat, seperti Yogyakarta.
Pelanggengan
Kemiskinan
Di Yogyakarta, upah buruh tidak
pernah mencapai angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) (Wulansari,:2020). Apalagi
semenjak diberlakukan mekanisme pengupahan melalui rumus pasti pertumbuhan
ekonomi, kian mempersulit kehidupan pekerja upahan di kota yang oleh pelancong
dikenal “spesial” tersebut. Penentuan tak lagi melalui kerangka demokrasi yang
melihat berbagai aspirasi stakeholder yang akan dipengaruhi oleh
besarnya upah yang akan ditetapkan.
Angka KHL 2019
Kota Yogyakarta yang mencapai 2,9 juta hanya mampu dicapai sebesar 1,8 juta
saja (Wulansari: 2019). Menurut Sekjen Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) Kirnadi
dalam Irwan (2019), seperti yang dilansir dalam tirto.id mengatakan,
Gubernur DIY dinilai tidak peka dan responsif terhadap kondisi buruh karena
hanya menaikkan UMP menjadi Rp1,7 juta. Padahal, berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Aliansi Buruh Yogyakarta, KHL di kabupaten/kota di DIY rata-rata
Rp2,5 juta sampai Rp2,7 juta. Besaran angka tersebut menunjukkan ketimpangan
yang besar di mana upah minimum hanya mencapai kisaran 60% dari kehidupan yang seharusnya layak di
Yogyakarta.
Selisih yang
hampir mencapai setengahnya ini, menyiratkan betapa murahnya harga perasan
keringat buruh yang ditawarkan oleh pemerintah kepada para investor. Bagaikan
barang dagangan, pemilik modal juga akan dengan mudah menggantikan buruh yang
dianggap sudah “usang”, dan tidak mampu produktif lagi dengan calon angkatan
kerja yang telah mengantre mendambakan pekerjaan.
Disparitas yang
cukup tinggi antara UMR yang otomatis terbentuk dengan KHL yang ditetapkan,
menunjukkan bahwa penghidupan yang tidak layak akan terus dialami pekerja
upahan. Di mana selama penetapan upah semacam itu terus diterapkan. Upah murah
dilegalkan, suaranya dibungkam, bahkan dalam menentukan hasil perasan keringat
yang akan diperolehnya. Mereka (baca: buruh) dimarginalkan oleh pemerintah demi
memberikan “kasur empuk” dalam menyambut para investor yang berdatangan.
Tapi UMR juga disesuaikan biaya hidup di Jogja yang murah dong :)
BalasHapus