Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
“Tembakau, dicibir dan dituntut sebagai penista tubuh. Ditemukan masyarakat suku asli Amerika, disebarkan dan dikembangkan penjajah Eropa. Menjadi komoditas ekonomi, simbol nasionalisme, pergerakan, serta perlawanan kaum tertindas. Tapi pada akhirnya kolonialismelah yang membawanya.“
Merokok adalah
salah satu kegiatan konsumsi masyarakat dunia yang sudah umum dan dapat
dijumpai hampir di seluruh belahan bumi. Rokok sederhananya terbuat dari
tanaman tembakau yang dilinting. Umumnya menggunakan kertas yang berbentuk
lurus, lalu dibakar demi
menikmati
sensasinya. Ihwal telah
ditetapkan oleh WHO sebagai salah satu penyebab kematian tertinggi dunia.
Namun, pada akhirnya rokok tetap menjadi komoditas yang laku di pasar. Bahkan
pada titik tertentu menjadi bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dilepaskan
dari masyarakat.
Seruan akan
bahaya merokok bahkan dapat dijumpai pada tiap bungkus kemasannya. “Merokok
membunuhmu!” Begitulah salah
satu kalimat yang tertaut di tiap kulit bungkus rokok. Pun bungkusan-bungkusan tersebut turut diwarnai
dengan serangkaian gambar mengerikan, yang membangun memori kolektif akan
kejamnya benda ini. Belum cukup sampai
situ, risiko penyakit yang disebabkan rokok pun turut meramaikan berbagai iklan
rokok. Mulai dari menyebabkan kanker, serangan jantung, bahkan gangguan
kehamilan.
Jika di masa
lalu rokok menjadi bentuk konsumsi yang wajar, lain hal di masa sekarang.
Pelaku, apabila merokok di depan umum, akan menyabet cemooh. Lebih-lebih pada
titik tertentu mendapatkan sanksi sosial. Merokok pada akhirnya menjadi
perilaku yang lekat dengan stigma buruk dan negatif di mata masyarakat. Merokok
juga identik dengan maskulinitas, seolah hanya diperuntukan bagi kaum Adam. Demikianlah pada akhirnya
kegiatan menghisap asap ini, akan dilekatkan kepada laki-laki yang dianggap
gagah dan maskulin.
Lalu bagaimana
dengan perempuan? Sampai kini, merokok masih menjadi hal tabu apabila dilakukan
oleh kaum hawa. Labeling perempuan gak bener acap kali disematkan
pada perempuan yang merokok. Padahal sebagian besar produksi tembakau,
dilinting satu per satu oleh tangan buruh yang cekatan dan hampir semuanya
adalah perempuan. Jika ditelisik dari sejarahnya, kebudayaan merokok tidak
terlepas dari partisipasi dan peran perempuan.
Budaya merokok
khususnya di Indonesia muncul beriringan dengan kehadiran kolonialisme Eropa.
Dalam proses perkembangannya rokok di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri
dibanding negara lain. Salah satunya yaitu kehadiran rokok kretek. Dalam buku Perempuan
Bicara Kretek karangan Abmi Handayani, rokok kretek pertama kali diracik
oleh seorang perempuan bernama Mbok Nasilah pada tahun 1870-an di Kudus. Ia
mencampur tembakau dengan cengkeh dan membungkusnya menggunakan daun jagung
kering (kelobot).
Pada awalnya ia
menyediakan rokok kelobot untuk mengurangi kebiasaan nginang (mengunyah
sirih) yang mengotori warungnya. Namun, tanpa diduga racikan tersebut demikian
digemari oleh banyak pelanggan yang datang. Salah satunya yaitu Nitisemito yang
kemudian menikahi Mbok Nasilah. Pasangan suami-istri ini kemudian bersama-sama
mengembangkan racikan awal Mbok Nasilah. Sampai berikut hari racikan tersebut
berkembang dan berevolusi menjadi salah satu industri kretek pertama di Kudus,
dengan nama Bal Tiga pada 1914.
Lebih jauh
sebelum itu, dalam buku Hikayat Kretek karya Amen Budiman dan Onghokham—lagi-lagi terdapat peran kaum hawa—yakni dari kisah
Pranacitra abad ke-17 pada masa Sultan Agung. Dikisahkan seorang perempuan
bernama Rara Mendut hendak dipersunting pejabat tua bernama Tumenggung
Wiraguna.
Rara Mendut
menolaknya, terjadilah perselisihan. Akibatnya, Rara Mendut dijatuhi hukuman
dengan membayar pajak yang berlipat. Jika tidak sanggup, Tumenggung Wiraguna
akan memaksa Rara Mendut menjadi istrinya. Rara Mendut menyanggupinya dengan
syarat ia diizinkan untuk berjualan rokok. Rokoknya pun laris dan pajak yang
berlipat dapat terbayarkan.
Kedua kisah di
atas bukanlah apologi untuk membenarkan perempuan yang ingin mengeluarkan
kepulan asap dari tembakau. Akan tetapi, lebih penting lagi sebagai
pengingat. Karena pada dasarnya, baik
laki ataupun perempuan memiliki hak yang sama apabila ingin merokok. Karena ini
bukanlah persoalan gender dan gender pun tak berhak membatasi itu. Lamun,
timbul pertanyaan baru. “Apa penyebab munculnya justifikasi bahwa perempuan
tidak boleh merokok di antara masyarakat?” Mari kita telaah lebih dalam.
Budaya
Patriarki dan Standar Ganda Pada Masyarakat
Pola pikir
masyarakat mengenai buruknya perempuan yang merokok tidak dapat dilepaskan dari
dominasi budaya patriarki. Budaya patriarki dibawa oleh kolonialisme Barat.
Kemudian bersarang pada kebudayaan masyarakat Nusantara hingga kini. Ciri khas
kebudayaan Nusantara sebelum kolonialisme tiba adalah “matriarki gaya
Polinesia”. Matriarki Polinesia adalah sistem kebudayaan di mana perempuan
dapat melakukan peran yang lazimnya dikerjakan oleh laki-laki.
Contoh konkret
dari budaya matriarki Polinesia adalah peran Nyi Ageng Serang sebagai panglima
perang pada masa perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830). Budaya ini lekas
luruh ketika kolonial Belanda datang ke Nusantara dan menanamkan budaya
patriarki. Sejak saat itu, perempuan dianggap sebagai subordinat dalam segala
aspek termasuk konsumen rokok.
Seperti yang
kita tau budaya patriarki adalah dogma yang menghalalkan segala bentuk
peraturan baik sosial, politik, ekonomi bahkan privasi individu berdasarkan
pandangan laki-laki. Dalam dogma ini, laki-laki memiliki peran sebagai sosok
pengatur yang ideal untuk perempuan dalam masyarakat. Di mana perempuan menjadi
boneka yang diatur dari caranya berbicara, berpakaian, bahkan sampai
bertingkah laku yang baik. Meskipun budaya patriarki diatur dan digerakkan oleh
laki-laki. Akan tetapi, dengan minimnya pengetahuan, perempuan pun ikut
melanggengkan dogma ini.
Maka tak heran
perempuan yang ideal di
mata kaum
patriarki, adalah mereka yang diam dan pemalu. Apabila si puan melawan dan
mampu bertindak karena
terjadi
penindasan. Seringkali ia dianggap perempuan yang binal dan kasar. Terlebih
bila si perempuan itu merokok, hancur sudah pandangan baik terhadapnya.
Terlepas dari norma yang mengikat, kita mestinya memahami bahwa setiap manusia
tentu tidak ingin kepentingan privatnya terusik. Menjadi perokok bukan berarti
mendeklarasikan diri menjadi orang nakal, jahat, ataupun pantas untuk dihina.
Kita perlu tahu, bahwa setiap orang mempunyai alasan dan keputusan yang harus
dihargai.
Entah kenapa
kini pada akhirnya konsumsi rokok hanya menjadi milik laki-laki. Rokok pun
telah berubah menjadi simbol maskulinitas dan kejantanan. Lihat saja di
berbagai tongkrongan anak muda, terdapat stigma laki-laki belum jantan apabila
tidak merokok. Ia pun akan dianggap lelaki culun dan rumahan. Padahal merokok
atau tidak itu adalah hak perorangan dan bersifat privasi.
Standar ganda
moral yang diciptakan baik laki-laki dan perempuan yang berorientasi patriarki.
Tentunya menjadi belenggu bagi perempuan perokok dan laki-laki yang tidak
merokok. Di satu sisi perempuan yang merokok dianggap urakan dan nakal. Di sisi
lain laki-laki yang tidak merokok dianggap tidak jantan. Cara pandang
diskriminatif tersebut jelas-jelas mengandung banyak unsur kecacatan dalam
berpikir. Cacat logika tersebut dapat kita lihat melalui stigma negatif yang
terwujud. Di mana stigma negatif terhadap perempuan perokok telah
termanifestasi nyata dalam bentuk cacian dan hinaan.
Berhenti
Menjadi Seorang Moralis
Memang benar
merokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, apabila konsumsi yang berlebihan atau lemahnya tubuh
saat menerima asap yang dikeluarkan dari si tembakau. Namun, lagi-lagi menjadi
hak manusia merdeka apabila ingin merokok. Tentunya dengan umur sudah mencukupi
dan tidak bergantung dengan orang tua. Pun para perokok juga harus pula menaati
aturan yang ada di khalayak umum. Jangan sampai saat menghisap rokok, asapnya
justru menyesap kepada mereka yang tidak merokok
Sebagai manusia
kita diciptakan untuk saling menghargai dan mengasihi. Berhentilah menjadi
moralis untuk persoalan
masalah pribadi seseorang. Melarang seorang perempuan merokok, sama saja
seperti melarang para buruh perempuan untuk memproduksi rokok. Padahal semuanya
ikut merasakan hasilnya. Jika sudah demikian siapa yang munafik? Diam-diam
mencibir, tapi diam-diam juga menikmati.
Melawan Stigma
Negatif dan Penghakiman Atas Perempuan Perokok
Stigma timbul
karena adanya kekuatan dominan yang diamini dalam masyarakat. Stigma sendiri
dipercaya sebagai fakta oleh masyarakat, kemudian disebar luaskan dan menjadi
standarisasi penilaian. Demikian pula dengan stigma negatif dan penghakiman
terhadap perempuan perokok. Sungguh, tak adil rasanya jika perempuan perokok
mengalami siklus justifikasi dan diskriminasi sepanjang hidupnya. Stigma dan
penghakiman yang terstruktur pada tatanan nilai masyarakat perlahan harus kita
hilangkan.
Mengapa
demikian? Tentu bukan untuk mendukung industri rokok ataupun kampanye perempuan
untuk turut menghisap komoditi ini. Akan tetapi, lebih dari itu—ialah upaya kita untuk
melawan stigma. Agar berikut hari kita dapat menghargai hak-hak perempuan yang
menjatuhkan pilihan sebagai perokok.
Demikianlah
sejarah tidak pernah mencatatkan bahwasanya rokok hanya bisa dinikmati oleh
kaum adam. Dari titik ini saya
ingin menekankan,
bahwa perempuan memilik hak yang sama dengan laki-laki untuk merokok bahkan di
muka umum sekalipun. Selagi mereka tidak mengganggu hak dan kebebasan orang
lain, merokok tetaplah sah dilakukan di tempat umum. Lantas sejak kapan kita
menjadi hakim bagi orang lain?
Diah Eka Kartika
Editor: Rachmad Ganta Semendawai