Anik Ghufron mengajak bersalaman dengan massa aksi di tengah-tengah demonstrasi (3/7/2020) |
Dengan mulut tertutup masker, Anik Ghufron, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan
Alumni UNY, tak mampu menyembunyikan rasa kesalnya di tengah kerumunan massa
aksi yang memadati gerbang utama kampus di Jalan Colombo tersebut. “Pokoknya
jika ada klaster baru penyebaran Covid-19, menjadi tanggung jawab Abeyasa,”
ujarnya, menuding salah satu nama inisiator aksi.
Festival Mahasiswa
UNY, nama aksi tersebut, berkali-kali mendapat intervensi dan hambatan dari
pihak rektorat. Tercatat, pihak kampus meminta massa untuk membubarkan diri
sebanyak empat kali. Sekali sebelum Shalat Jumat, dengan dalih telah berdekatan
dengan waktu Shalat. Sementara sisanya, terjadi ketika massa merayakan acara
dengan bernyanyi di panggung bebas.
“Kalian (massa aksi-red)
tidak boleh ada di sini, karena kalian bukan lembaga yang legal. UNY Bergerak
tidak dikenal di UNY, jadi tidak
boleh mengadakan acara di sini.” Kata Anik Ghufron. Kala ia menegaskan
“pengusirannya” terhadap aksi yang berlangsung pada Jumat (3/7/2020) itu.
Pernyataan Anik pun
menuai berbagai komentar. “Hal ini (tudingan Anik) kerap kali mengaburkan substansi
yang dibawa atau dituntut,” ujar Fakhrurrozi, Direktur Klinik Advokasi dan HAM
UII (Kaham UII), mengomentari tudingan sembrono Anik kala dihubungi via pesan
daring.
Paul, sapaan akrabnya,
menambahkan bahwa pada dasarnya UUD 1945 kita telah menjamin kebebasan untuk
berkumpul, serta menyampaikan pendapat di muka umum.
“Jika isi dari Aliansi
UNY Bergerak adalah mahasiswa UNY sendiri, maka hal itu sudah cukup
menjadi legal standing bagi mereka untuk menuntut hak dan
kewajiban kampus.” Pungkas pria yang juga menjadi pegiat Aksi Kamisan Jogja
tersebut.
Abeyasa Auvry menyampaikan pandangannya terkait masalah kampus |
Sementara salah satu
massa aksi, Abeyasa Auvry Tirtabayu menyayangkan tudingan Anik. Ia mengatakan
bahwa hal demikian, harusnya tidak terjadi jika pihak kampus telah memenuhi
tuntutan mahasiswa.
“Ini konsekuensi logis
ketika rektor tidak memenuhi tuntutan mahasiswa. Nah, yang terjadi adalah massa
aksi turun ke jalan,” katanya. Ia menambahkan, jika seandainya rektorat memenuhi
tuntutan mahasiswa sebelumnya, tak perlu ada massa aksi yang turun ke jalan.
Sebelum hari ini,
Aliansi UNYBergerak sendiri telah membuat aksi protes secara virtual.
Sebagaimana diwartakan Philosofis,
pada Senin (18/5/2020) lalu, tagar #UNYBERGERAK sempat
menjadi trending topic di sosial media Twitter.
Duduk perkara
dari aksi media tersebut adalah respons atas Surat Edaran
(SE) dari pihak kampus terkait mekanisme penyesuaian biaya pendidikan atau Uang
Kuliah Tunggal (UKT) kampus UNY selama masa pandemi. Aliansi menyebut,
kebijakan dalam SE itu tidak pro-mahasiswa seraya mengatakan bahwa itu sekadar
“permainan kata”, “rumit”, dan “membebani mahasiswa”.
Tercatat, hingga aksi
pada hari ini berlangsung, sebagaimana diutarakan aliansi, pihak kampus
terkesan belum memenuhi tuntutan awal mereka. Bahkan, seiring berjalannya
waktu, masalah yang dihadapkan kepada mahasiswa semakin bertambah, yang
akhirnya mereka rumuskan dalam tujuh poin
tuntutan.
Adapun, tujuh poin
tuntutan tersebut adalah sebagai berikut:
- Potongan UKT dan SPP seluruh mahasiswa
(D3, D4, S1, S2, dan S3) UNY semester gasal 2020/2021 minimal 50%.
- Transparansi
pendapatan dan penggunaan anggaran UNY selama pandemi Covid-19.
- Memberi kemudahan dan kejelasan sistem
PK-KKN di masa pandemi Covid-19.
- Menuntut adanya
subsidi untuk KKN sebesar Rp1.000.000,00 per mahasiswa selama masa KKN
berlangsung.
- Menuntut adanya Standar Operasional
Prosedur (SOP) pembelajaran daring yang jelas dan efektif.
- Memperjelas sistem magang dan menjamin
jurusan telah memiliki jejaring dengan instansi/lembaga/perusahaan yang
berkaitan dengan kompetensinya masing-masing.
- Menuntut adanya regulasi pencegahan
dan penanganan kasus kekerasan seksual di UNY.
Tujuh poin, yang
tertuang rapi dalam rilis resmi tersebut, rencananya juga akan menjadi
kesepakatan antara pihak rektorat dan mahasiswa yang dibuktikan dengan
penandatanganan di atas materai bernilai 6.000.
Namun, hingga aksi
dipaksa membubarkan diri pukul 14.32 WIB, Rektor Sutrisna Wibawa sebagai
perwakilan pihak rektorat dalam menandatangani nota kesepakatan, tidak juga
menunjukkan batang hidungnya.
Sementara ketika dimintai keterangan oleh
wartawan Philosofis, terkait ketidakhadirannya dalam menyambut mahasiswa
yang melakukan aksi, Rektor Sutrisna hanya berdalih bahwa semua tuntutan
sebenarnya telah mereka penuhi.
“Tidak perlu. Karena materi sudah dibahas
sebelumnya dan sudah disosialisaikan ke BEM dan DPM,” ujarnya ketika dihubungi
via Whatsapp pada Sabtu (4/7/2020) pagi, sehari setelah aksi. Ia menambahkan,
bahwa beberapa materi juga telah kampus kirim ke media cetak Kedaulatan
Rakyat.
Meski demikian, berdasarkan penelusuran
Philosofis, setidaknya ada beberapa poin yang kurang sesuai dengan materi yang
dimaksud Rektor Sutrisna dengan tujuh poin tuntutan mahasiswa. Lebih jauh, pada
poin terakhir, aliansi juga menambah tuntutan baru terkait regulasi penanganan
kasus kekerasan seksual.
“Semuanya, sama (seperti) dijelaskan Pak WR tiga (Anik Ghufron) di lapangan.” Imbuh singkat Sutrisna, yang sejak pagi
terpantau berada di kampus, meski hingga aksi berakhir tetap mengurung diri.
Penuh Intimidasi
“Yang non-muslim
diam, nggak usah nge-rusuh,” teriak salah satu orang yang
berasal dari barisan sisi-dalam pagar pembatas antara massa aksi dan pihak
kampus. Ungkapan yang punya tendensi intoleran tersebut, sontak
membuat beberapa mahasiswa terpancing emosi. Akibatnya, massa yang sedang
berdialog dengan pihak rektorat menjadi terpecah fokus.
Ujaran tersebut
berawal, ketika mahasiswa berusaha masuk ke rektorat demi menemui Rektor Sutrisna
untuk penandatanganan nota kesepakatan tujuh poin tuntutan aliansi.
Namun, ketika mahasiswa dan pihak rektorat tengah berunding, teriakan itu
terdengar dari arah sisi-dalam pagar.
Paul, yang
berkecimpung dalam diskursus Hak Asasi Manusia, menyayangkan ujaran tersebut. Menurutnya, harus
ditanyakan atas dasar apa kalimat itu diucapkan. Selain itu, ujarnya, setiap
orang punya hak yang sama dalam hal apa pun, begitu pula dalam konteks apa pun,
tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, budaya, maupun agama.
Selain ujaran
tendensius yang mengandung sentimen SARA tersebut, beberapa mahasiswa juga tak
luput dari “penandaan”. Herlian salah satunya. Mahasiswa Prodi Kebijakan
Pendidikan 2017 itu mengaku ditanyai terkait nama asli dan fakultas asalnya.
“Habis itu dia pergi
dan melaporkan ke bapak yang satunya, sambil nyebut ‘namanya
Herlian Septianto dari FIP’”, ujar Herlian mencoba merekonstruksi kejadian.
Hal serupa juga
dialami jurnalis LPM Ekspresi, Rosganifa Aullia Put, dengan orang yang sama ketika
menanyai Herlian. Pria paruh baya, dengan setelan batik dominan warna coklat
tersebut menanyakan di mana ia kost (tinggal), asal daerah,
hingga ia pulang jam berapa. Demikianlah, seperti yang ia utarakan.
Sementara beberapa mahasiswa, juga mengaku
bahwa malam harinya dihubungi beberapa orang tak dikenal. Berdasarkan laporan
yang diterima Philosofis, setidaknya ada tiga mahasiswa yang ikut dalam
aksi tersebut mendapat pesan dari orang tidak dikenal.
Hingga tulisan ini dimuat, narasumber belum
mau bercerita lebih banyak dan tidak mau terburu-buru menuding pihak tertentu,
Mahasiswa, yang diteror pesan misterius, hanya mengatakan bahwa isi pesan
berupa, “larangan mengikuti aksi lagi”, hingga, “dari mana asal daerahmu.”
Pelarangan unjuk rasa
juga menjadi sorotan kami. Terlihat dari beberapa kali pernyataan Anik Ghufron
dalam dialognya bersama mahasiswa perwakilan aliansi, seperti mengatakan,
“besok-besok tidak usah mengadakan aksi lagi”. Ia seraya menambahkan bahwa yang
boleh melakukan aksi hanya Badan Eksekutif Mahasiswa beserta Organisasi
Mahasiswa atau Ormawa.
“Jadi sebagai
mahasiswa UNY, kedepannya kalian nggak usah adanya
aliansi-aliansi. Adanya hanya BEM, selain itu tidak sah,” tuturnya bersamaan
dengan menunjukkan gestur “menantang duel” kepada salah satu mahasiswa yang
berusaha membantah argumennya, sebelum akhirnya dilerai.
Salah seorang peserta
aksi mengatakan bahwa sikap Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan tersebut sebagai
"kekanak-kanakan alias mbocahi”, buta demokrasi, dan baginya
bahwa sebagai seorang akademisi hal tersebut begitu disayangkan.
“Jangan
main-main lho kamu. Macem-macem, sini,” sambil
menaikkan dada dengan gestur menantang duel. Demikianlah, salah seorang peserta aksi yang tidak ingin dibuka identitasnya menirukan Anik
Ghufron, menutup wawancara dengan Philosofis.
Selain terjadi ketika aksi, pelarangan juga
terjadi sebelum hari Jumat. Salah satunya diungkapkan peserta aksi lain, Senja
(nama sapaan). Dalam tangkapan layar yang diterima Philosofis, mengenai percakapannya dengan person
yang diketahui sebagai Anik Ghufron, ia dilarang mengadakan aksi.
“Kalau masih ada yang kurang jelas silakan
hubungi kami. Mohon untuk tidak melakukan aksi besuk Kamis 2 Juli karena akan
merugikan UNY, termasuk diri Anda sendiri. Nuwun. Anik Ghufron.” Demikianlah, isi pesan singkat tersebut.
Selain oleh person yang diketahui
sebagai Anik Ghufron, Senja juga dihubungi oleh beberapa orang, baik
pesan singkat berupa pemanggilan maupun berbentuk panggilan Whatsapp. Beberapa person
lain, belakangan diketahui merupakan Wakil Dekan 3 FT UNY, Darmono; Kepala
Jurusan PTE FT UNY, Edy Supriyadi; serta seseorang yang mengaku sebagai “Bu
Amel dari Mekatronika.”
“Tapi aku ga pernah memenuhi
panggilan mereka. You know lah, akhirnya akan jadi apa,” ungkap Senja
kepada Philosofis, merespons pesan-pesan yang ia terima tersebut.
Hingga tulisan ini dimuat, Anik Ghufron
masih belum menjawab pertanyaan wawancara Philosofis via pesan daring, dan hanya membaca pesan
tersebut. Sementara Rektor Sutrisna, hanya merespons singkat terkait persoalan intimidasi yang menimpa beberapa mahasiswa dengan memberi
jawaban: “saya tidak tahu.”
Aksi yang digelar
sejak pukul 9.20 WIB hingga menjelang sore pada pukul 14.32 WIB itu, juga diisi
dengan panggung bebas yang menampilkan musikalisasi puisi, lagu-lagu,
hingga dangdutan bersama, sebelum terpaksa diakhiri karena
sumber daya listrik dimatikan oleh pihak rektorat.
Ahmad Effendi
Reporter: Ahmad Effendi dan Dissara
Editor: Rachmad Ganta Semendawai