Illustrasi: Sweetsandpie |
Saya menghela nafas, menatap nanar pada bayangan yang terpantul di depan kaca. Lunar menatap saya dengan tatapan sendu. Katanya saya adalah manusia yang paling sulit untuk dia pahami.
“Hujannya awet ya?
“Maksudnya?”
“Iya hujan di luar dan di antara kedua mata kamu”
“Kalo yang kamu maksud saya menangis, saya sudah berhenti menangis sejak
lama. Bahkan saya lupa kapan terakhir kalinya”
“Kenapa?”
“Memangnya perlu alasan?”
“Bukannya setiap perbuatan akan ada alasannya? Sama juga kayak setiap
pertanyaan yang akan selalu ada jawabannya”
“Tapi saya rasa, perasaan tidak selalu harus dikatakan, cukup dirasakan
saja seorang diri biar saya mengerti apa yang sebenarnya saya inginkan”
Malam semakin larut, Lunar telah pulang dari rumah saya dan saat ini
kesendirian menemani saya, sama seperti hari-hari sebelumnya. Terkadang saya
berpikir sepi dan sendirian tidak seburuk yang dibayangkan, bukan berarti saya
tidak ingin berdua. Hanya saja saya belum menemukan seorang yang tepat untuk
diajak membangun kisah bersama. Saya lupa kapan terakhir kali saya sejatuh itu
untuk seseorang. Mungkin beberapa tahun lalu, waktu saya berpikir bahwa rasa
memang ada untuk disampaikan. Waktu saya masih berpikir kebahagiaan adalah
dirinya.
Berbicara mengenai dia membuat saya teringat, malam terakhir saya bertemu
dengannya. Malam itu hujan turun, tidak begitu deras namun mampu membuat saya
menggigil kedinginan. Saya dan dia duduk berdampingan, ditemani dua cangkir
kopi yang sudah tidak mengeluarkan uap panas. Dia menatap saya nanar, seolah ingin
menyampaikan sesuatu namun ragu, takut menyakiti hati saya.
“Kamu kenapa?”
“Saya gapapa”
“Walaupun kamu bilang gapapa, nyatanya mata kamu tidak bisa
membohongi saya, Luka ada yang ingin kamu sampaikan?”
Dia terdiam cukup lama, hanya memandangi wajah saya. Lalu dia menghela
nafas berat. Saya menyadari akan terjadi sesuatu yang kemungkinan dapat membuat
saya patah.
“Saya rasa sudah cukup kita berjalan bersama”
“Maksud kamu?”
“Lara, saya bahagia pernah menjadi tempatmu berpulang. Tempatmu berbagi
cerita dan cita-cita namun untuk sekarang saya sudah tidak bisa lagi, saya
menyerah”
“Kenapa?”
“Perasaan saya sudah berubah, maaf saya tidak bisa mencintai kamu
sebagaimana mestinya”
Saat itu saya menyadari hujan tidak hanya turun di luar ruangan, namun juga
akan turun mengalir di antara kedua mata saya. Saya terdiam menatap
langit-langit ruangan agar dapat menghalau air mata saya yang minta untuk
dikeluarkan.
“Kamu ingin saya menanggapi bagaimana Luka?”
“Lara maaf saya menyakiti kamu, tetapi saya juga sakit bukan ini akhir yang
saya inginkan”
“Luka kamu pernah bilang ke saya, kita harus berjuang untuk seseorang yang
diinginkan. Lalu saat saya sudah jatuh kamu ingin melepas saya untuk berjalan
sendiri?”
“Menyayangi kamu adalah perkara mudah, namun mencintaimu belum mampu saya
lakukan. Sedari awal saya yang terlalu memaksa kamu untuk menjadi tempat saya
tinggal. Namun nyatanya bukan kamu yang saya cari. Selamat tinggal Lara”
Saya terdiam, menatap Luka dengan perasaan abstrak. Begini akhir dari kisah
saya dengan dia yang beberapa waktu lalu mampu membuat saya begitu bahagia.
Saya menyadari kebahagiaan hanyalah suatu bualan semu, tidak abadi.
“Saya menghargai keinginan kamu Luka, tak apa bila kamu ingin kita berjalan
sendiri-sendiri. Mungkin kamu hanya tempat saya untuk singgah sebentar. Selamat
tinggal Luka”
Kilasan itu berlalu,
perasaan saya untuk Luka sudah hilang. Cerita saya dengannya sudah selesai.
Dahulu dia adalah bagian terpenting dalam kehidupan saya. Pelukan Luka
merupakan salah satu hal yang saya suka dikala saya senang maupun sedih. Namun
saat ini, Luka hanyalah masa lalu saya. Ceritanya telah usai, dan saya tidak
ada keinginan untuk kembali bersamanya. Ternyata perpisahan pernah membawa saya
kepada rasa sakit. Jimi Hendrix pernah berkata “The story of love is hello
and goodbye” dan saya menyetujui ucapannya. Benar kata Lunar serela-relanya
sebuah perpisahan pasti akan membawa rasa sakit entah untuk satu pihak maupun
untuk kedua belah pihak. Walaupun kadar rasa sakitnya berbeda.
Rachma Syifa Faiza Rachel
Editor: Rachmad Ganta Semendawai