Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Bulan Ramadhan tentu moment yang ditunggu-tunggu bagi umat Islam di seluruh dunia. Masyarakat muslim biasa menyambut bulan ini dengan penuh suka cita. Pengikut Muhammad percaya, pada bulan Ramadhan pintu kebaikan dibuka selebar-lebarnya dengan pahala yang berlipat ganda. Demikianlah puasa mengandung hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya dari endapan buruk (bagi kesehatan) dan akhlak yang rendah (Ibnu Kasir: 2000). Berbagai keistimewaan ini membuat Ramadhan menjadi bulan yang dinanti-nanti oleh umat Islam. Akan tetapi, Ramadhan kali ini tampak berbeda dengan Ramadhan sebelum-sebelumnya.
Ramadhan tahun ini
berlangsung di tengah merebaknya pandemi Covid-19. Demi memotong rantai
penyebaran virus Covid-19 banyak kebijakan usaha yang diterapkan oleh
pemerintah, seperti kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Begitu
pula pada sektor pendidikan, pembelajaran sekolah diubah dari tatap muka
menjadi homeschooling. Hal ini membuat berbagai budaya dan tradisi
kala bulan Ramadhan menjadi tersendat dan pada titik tertentu tidak bisa dilakukan
seperti biasa. Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam bulan Ramadhan seperti,
buka bersama, ngabuburit, bahkan mudik menjadi terhambat untuk
dilakukan oleh umat muslim.
Pembatasan aktivitas
masyarakat ini dimaksudkan untuk memutus rantai penyebaran virus corona
tersebut. Akan tetapi, pembatasan ini tidak berlaku sepenuhnya untuk para
buruh. Pada kondisi bahaya pandemi Covid-19 ini, para buruh justru masih
diwajibkan untuk bekerja. Kelas pekerja tetap diperas keringatnya, meskipun
ancaman kematian membayang-bayanginya.
Padahal
berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pada 17 Mei
2020 sudah tercatat 17.025 orang warga Indonesia yang dinyatakan positif
terjangkit Covid-19. Pun sudah 1.089 orang dinyatakan meninggal dunia. Meninggal
bung! Ini bukan sekedar data, ini adalah satu bukti besar bahwa kasus Covid-19
di Indonesia terus memburuk. Terakhir saja dalam empat hari, peningkatan jumlah
orang yang terjangkit virus corona mencapai kisaran 4000 orang.
Semakin bertambah banyaknya
orang yang terinfeksi Covid-19 membuat resiko penularannya semakin tinggi.
Resiko pun hadir terutama bagi masyarakat yang terpaksa harus tetap
beraktivitas di luar rumah. Kondisi seolah tidak memberi mereka pilihan.
Sederhananya bila mereka tidak bekerja, mereka tidak bisa makan. Maka bagi
mereka yang tidak mempunyai simpanan harta yang cukup, resiko terinfeksi pun
kian rentan. Terbukti dua orang karyawan di salah satu pabrik rokok di Surabaya
meninggal setelah terpapar virus corona saat bekerja. Dilansir dari kompas.com,
Saat ini, ratusan pekerja di pabrik tersebut sedang mengalami karantina di
salah satu hotel Surabaya.
Pandemi corona pada
bulan Ramadhan ini malah semakin menderitakan para kelas pekerja. Pada bulan
yang penuh berkah ini justru kelas pekerja tidak dapat menikmati Ramadhan
dengan riang gembira. Orang yang berpuasa tentunya merasakan rasa lapar karena
seharian tidak dapat makan. Sedangkan kelas pekerja seharian berproduksi tanpa
adanya peringanan jam kerja. Hal ini semakin membuat para pekerja bertambah
lemas dan capek. Imunitas yang rendah dengan tubuh yang lemas membuat para
pekerja memiliki resiko yang semakin tinggi terkena virus corona.
Pekerjaan berat yang
dipikulnya, terkadang membuat para buruh merelakan untuk tidak berpuasa dalam
bekerja. Tentu ini berkaitan dengan jenis pekerjaan yang berat. Maka tak heran
banyak buruh yang di bulan Ramadhan ini, tak kuat menahan rasa lapar dan haus.
Walaupun upahnya tidak seberapa dibandingkan akumulasi keuntungan yang
diperoleh bosnya. Para buruh tetap bekerja merelakan ibadahnya yang
wajib untuk memenuhi kewajibannya yang lain. Sandungan ekonomi, membuat kaum
pekerja ini merelakan pahala puasanya.
Dengan kondisi seperti
ini, seolah-olah mereka merelakan dirinya untuk menghadapi kerentanan virus
corona karena dipaksa bekerja. Inilah yang disebut dalam penelitian Munir (2013),
karya Ramly. Ia menjelaskan bahwa penghisapan ini menjadi semacam syarat dalam
mencapai kebahagiaan bagi kapitalis, tidak boleh tidak, individu dipaksa
menderita meskipun individu tersebut berasal dari kelompok mayoritas (kelas
pekerja).
Seolah keluar mati,
tidak keluar pun tetap mati. Ancaman kesengsaraan pada masa pandemi Covid-19
ini sebenarnya bukan hanya menimpa para buruh yang bekerja saja. Akan
tetapi--barang siapa yang tidak bekerja—resiko kelaparan dapat menimpa diri dan
keluarga ketika hanya berada di rumah saja. Pun himbauan untuk “di rumah saja”
dari pemerintah agaknya tidak berlaku bagi sebagian kelas pekerja.
Sebab banyak buruh yang
saat ini “di rumah aja” adalah mereka yang terkena PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja). Sungguh ironis kehidupannya, seolah tidak punya pilihan untuk dirinya
sendiri agar dapat terlindung dari virus corona, nyawanya seakan-akan berada
ditangan bosnya. Bagi kelas pekerja yang bergantung dengan upah, ketakutan
terjadi bukan hanya karena Covid-19. Namun, lebih dari itu, mereka lebih takut
jika harus dipecat. Mereka (buruh) dipaksa harus bekerja atau mengikuti anjuran
pemerintah “di rumah saja" dan berakibat PHK oleh majikan.
Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) ini menjadi jalan aman bagi perusahaan untuk menyelamatkannya dari
kerugian. Terbukti saat ini, PHK telah banyak dilakukan oleh perusahaan
terhadap para pekerjanya. Berdasarkan data dari kementerian tenaga kerja
tertanggal 20 April 2020 yang dilansir di kompas.com. Sudah
terdapat 3 juta buruh yang terkena PHK atau dirumahkan.
Demi mengatasi kerugian
dan kebangkrutan, langkah PHK pun diambil perusahaan. Tentu ini bukanlah
kebijakan yang berkeadilan dan memanusiakan manusia. Pemecatan hanya akan
merugikan para pekerja, dan menyelamatkan keuntungan bagi segelintir orang
saja. Mereka yang di-PHK tentu juga akan mengalami kesengsaraan, kelaparan, dan
mungkin dapat berujung pada kematian bagi diri dan keluarganya.
Pada saat pandemi ini,
para kelas pekerjalah yang paling rentan alami kesengsaraan. Demikian pula pada
saat krisis ekonomi atau krisis ekologi, kelas pekerja adalah orang yang paling
tertonjok dampaknya. Padahal mereka tidaklah menjadi penyebab krisis tersebut.
Nasibnya cuma ada dua pilihan, bekerja membahayakan nyawanya atau mengisolasi
diri dan tidak mendapat upah yang ujung-ujungnya juga menimbulkan kesengsaraan.
Keuntungan untuk
segelintir orang ini memberikan malapetaka terhadap banyak orang, terkhusus
kelas pekerja. Terus bertambahnya orang yang terinfeksi corona bukanlah
kesalahan rakyat yang ngeyel untuk tidak di rumah saja.
Melainkan, para pemilik modal yang tetap memaksakan mengakumulasi profit,
meskipun dunia sedang berperang melawan pandemi corona. Pun kita harus
menyoroti pula keengganan pemerintah untuk menerapkan Undang-undang Karantina
Kesehatan (UU No. 6 Tahun 2018).
Pola kerja yang tidak
berkeadilan ini sudah sepantasnya dihentikan, jika menginginkan wabah corona
berhenti penyebarannya. Maka tindakan intervensi berupa kebijakan yang
menyelamatkan seluruh masyarakat dari pandemi corona, sekaligus kemiskinan
harus dipikirkan oleh pemerintah. Akan tetapi, agaknya kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah pada masa pandemi ini terlihat tidak berpihak kepada rakyat,
apalagi kelas pekerja. Anggaran negara sebesar 150 Triliun Rupiah justru
digunakan untuk memulihkan perekonomian pasar yang mengalami kerapuhan akibat
wabah corona.
Kebijakan ini jelas
hanya menguntungkan penguasa dan pemilik alat produksi saja. Sebetulnya banyak
kebijakan yang mampu dilakukan oleh pemerintah jika memang berniat selamatkan
rakyat dari berbagai dampak wabah corona. Unemployment Insurence (Asuransi
Pengangguran) dan memperkuat jaminan sosial sebenarnya dapat menjadi alternatif
pilihan kebijakan pada masa krisis semacam ini. Pun kita masih menunggu
undang-undang karantina dimanfaatkan. Tanpa menghentikan perusahaan
non-esensial yang masih bekerja dengan memberikan jaminan hidup kepada kelas
pekerja, bencana pageblug Covid-19 akan sulit untuk
berakhir.