“Ngapain sih demo? Panas tau, mending di rumah kan, adem.”
-Netizen-yang-budiman-dan-berwawasan-luas, 2019 –
Tulisan
ini saya awali dengan kutipan kudus dari netizen yang maha suci.
Namun, bukan berarti tulisan ini mengomentari kutipan tersebut. Saya
tak mau membuang waktu petentang-petenteng cari
referensi, demi membalas kutipan tersebut. Useless! Ada
hal yang lebih penting, ya kata “demo” silakan digaris bawahi.
Kata
netizen-yang-budiman-dan-berwawasan-luas sih, demo itu pasti anarkis.
Upss... Baidewe, Anarkis tuh apa sih? He-he-he
Tapi
tunggu, biarlah netizen-yang-budiman-dan-berwawasan-luas itu yang
menilai. Toh, ini demokrasi, mereka punya hak menyuarakannya. Akan
tetapi, saya hanya ingin mengatakan bahwa demo kemarin asyik-asyik
aja kok (Kalian paham lah demo yang saya maksud). Justru banyak hal
yang bisa kita pelajari.
Ya,
tentu manusia punya pembelaannya masing-masing, tapi saya hanya ingin
mengatakan bahwa tulisan ini bukan karya ilmiah yang harus kalian
tanggapi serius. Bukan juga PKM yang harus dipimnaskan. Apalagi
analisis tajam yang harus dimuat dalam media ternama. Tidak! Tulisan
ini curhatan aja kok.
Nah,
dari kutipan dipaling awal tadi, pantaslah mereka menyesal kenapa
tidak ikut demo. Ada dua hal. Pertama, dari demo kemarin ada banyak
nilai yang bisa kita pelajari. Ingat ya, nilai! Saya nggak ngomong
nilai baik atau buruk. Semua kembali ke tuan dan puan semua. Kedua,
banyak kejadian yang mengocok perut saat demo, yang tentu sulit
kalian temui di kamar sempit kost.
Saat
massa mulai menjadi lautan manusia di Pertigaan Gejayan-Colombo, saya
mulai mengeluarkan buku catatan. Mulai mencari hal menarik apa yang
bisa saya tulis. Wartawan naik baliho, umm, kurang
menarik. Beda lagi kalo tukang bubur naik baliho, yhaaa.
Kemudian mulai melihat para massa memanjat pos polisi, dan mengambil
mangga di atasnya. Sempat berfikir, bagaimana setelah memakan buah
itu, kemudian mereka dibuang dari surga? Oh tidak, ini bukan kisah
Adam dan Hawa. Ra mashook!
Tiba-tiba,
ada satu umpatan dari massa yang mencengangkan kuping kiri saya “DPR
Asu!”. Ah, benar. Dan sekali lagi “DPR Asu!”, ah kuping ini
mulai terbiasa. Dalam umpatan ke delapan, saya mulai mengeluarkan
buku catatan. Ya, mencatat berapa kali umpatan ini keluar. Saya duduk
di sebelah oknum itu, sebut saja Si Pengumpat. “DPR Asu!”, apapun
orasinya, umpatannya sama. Hanya intonasi dan volume suara saja yang
berbeda.
Dalam
catatan saya, 144 kali ia mengumpat. Huft, seandainya
tiap tiga umpatan mendapat satu gelas cantik. Selesai demo, empat
lusin gelas cantik ia dapat. Namun, catatan saya berhenti di angka
tersebut karena harus mencari momen lain. Semoga Si Pengumpat
konsisten dengan umpatannya, Aamiin.
Yang
ingin saya sampaikan adalah, bukan siapa yang mengumpat dan bagaimana
umpatannya. Namun, kenapa DPR diumpat? “DPR Asu!”, selalu
terngiang. Jadi, mari cari akarnya. Kenapa DPR dibilang Asu?
Dalam
Bahasa Jawa, sesuatu yang mengandung kata “Su” di awal, berarti
punya makna baik. Itulah mengapa banyak nama orang Jawa berawal dari
“Su”. Supratman, Sujiwo, Suuuuuu...trisna, misal. Itu poinnya.
Celakanya, ada tambahan “A” di depan, yang punya konotasi
kebalikan. Jadi, “Asu” bisa dibilang kebalikan dari baik atau
tepatnya jelek.
Kembali
ke “DPR Asu”. Kenapa DPR dibilang asu? Artinya, DPR jelek, gitu
kan? Ya, setidaknya inilah intepretasi dangkal yang bisa diambil dari
umpatan itu, tapi bagian mana yang membuat DPR dibilang Asu?
Emmmm... saya
harap jika RKUHP disahkan, tulisan ini tidak sampai dibaca DPR atau
orang-orang pemerintahan sana. Kenapa sih? Dalam pasal 219 dan pasal
241 RKUHP, memuat pasal tentang penghinaan Presiden, Wakil Presiden,
dan pemerintahan. Jadi pertanyaannya sekarang adalah, tak ada
kejelasan soal “penghinaan” itu sendiri. Ini pasal karet, dan
rawan dipakai penguasa untuk memberangus kritik publik.
Anggaplah,
RKUPH disahkan, kemudian “DPR Asu!” terbaca oleh pemerintah.
Aduh, malam ini saya dijemput, besoknya saya diadili, dan enam bulan
kedepan saya harus siap ngepel WC penjara. Sial kan? Akan tetapi,
mungkin ini relevan ya, pun kata “Asu” bisa multitafsir. Toh,
yang ingin disampaikan bahwa kalian kami katakan asu kalau kinerjanya
buruk. Kalian dipilih rakyat, digaji negara, tapi kalau malah
mencekik rakyat, ya, asu namanya. Di negara demokrasi, rakyat
majikan, dan cuman asu yang tiba-tiba nyekik majikan.
Lebih
dari itu, penguasa bisa saja menafsirkan mana yang mereka suka dan
mana yang mereka tak suka, dengan menggunakan pasal ini. Apa yang
mereka suka digembalakan, yang tak disuka dipidanakan. Sampai disini,
matilah kritik. Masyarakat akan takut mengkritik. Karena jika kritik
mereka ditarsirkan sebagai penghinaan, duh, nginep di penjara lur.
Itu
soal penghinaan, masih banyak lagi yang harus dibahas. Namun, masih
ada ruang lagi untuk mendiskusikannya. Saya yakin kawan telah banyak
tau tentang pasal lain, jadi anggaplah itu contoh kecil dalam RKUHP
yang begitu rancu.
Hal
yang membuat DPR dbilang asu lagi adalah, soal revisi UU KPK. Banyak
kajian, yang menyatakan bahwa UU ini bersifat melemahkan KPK.
Walakin, toh, tetap juga disahkan. Bahkan, Fahri Hamzah selaku
pemimpin sidang, sudah siap mengayunkan palunya sebelum ada kata
“sepakat”. Akan tetapi, akhirnya, serentak seperti paduan suara,
forum meneriakkan “sepakat” dan Fahri mengetukkan palu Thornya.
Geledek menyambar KPK.
KPK
terkapar, tersambar petir dari Palu Asgardian Fahri Hamzah. Pun
demikian, publik memberi dukungan. Upaya melalui aksi turun ke jalan
sampai judicial review dilakukan. Selanjutnya yang
harus dipermasalahkan adalah, saat banyak kajian mengatakan bahwa ini
upaya pelemahan KPK, tapi tetap saja forum DPR sepakat dan satu suara
terkait UU ini.
Apa
karena banyak anggota dewan ditangkap KPK, sehingga mereka dendam?
Entah apa motifnya, setahu saya bahwa pihak yang setuju akan
pelemahan KPK, ya, siapa lagi kalau bukan koruptor. He-he-he. Saya
tidak bilang DPR koruptor. Tapi ada satu logika yang dimainkan.
Revisi UU KPK melemahkan KPK; Pihak yang melemahkan KPK adalah
koruptor; DPR setuju revisi UU KPK. Jadi, kesimpulannya, kembali ke
pembaca, yhaaa...
Saya nggak mau
setuju sama hal itu, tetapi ketika Pak Yassona Laoly bicara di media:
“Apa kami semua ini orang-orang tolol?”, dengan spontan saya akan
jawab: kata terakhir (kami semua ini orang-orang tolol) itu adalah
jawaban, Pak. Eh, tapi maaf, sekali lagi RKUHP belum disahkan toh?
Jadi masih boleh ngumpat. Oke, tolol!
Sebenarnya
ada tujuh tuntutan dari massa yang hadir dalam demo hari itu. Salah
satunya soal pengesahan RUU P-KS. Saya nggak mau
berasumsi terlalu jauh, karena saya juga yakin pembaca lebih tau
banyak lagi soal permasalahan ini. Namun, yang jelas, bicara RUU ini
haruslah dengan kesadaran gender yang utuh. Kalo tidak, jatuhnya
malah salah.
Saat
perwakilan feminis berorasi misalnya, atau ada perempuan yang
berorasi, ujaran seksis muncul dimana-mana. Kecuali, Si Pengumpat. Ia
konsisten dengan umpatan “DPR Asu”-nya. Hal ini semakin
mempertegas kenapa RUU P-KS harus segera disahkan. Untuk alasan, mari
berdebat! Saya nggak mau nulis panjang lebar, karena kolom
yang disediain redaksi nggak sepanjang
adu bacot. Intinya, saya setuju: Sahkan RUU P-KS.
Kalau
mau membedah satu per satu, sekali lagi saya katakan, mari berdebat.
Saya sebenarnya cuman mau tau aja sih kenapa Si Pengumpat konsisten
teriak “DPR Asu!”. Eh ternyata, gitu toh DPR. Perkara mau setuju
atau tidak, ya, semua kembali ke sidang pembaca.
Selain
Si Pengumpat yang khas dengan teriakan “DPR Asu”-nya, banyak
sekali tulisan-tulisan dari roundtext bernada
sarkas, lucu-lucuan, sampai ambyar-ambyaran. Ciee...
yang nggak ikut demo mana tahu. Lamun, tenang,
banyak tulisan lucu itu sudah nyebar kok di media. Bisalah
sama-sama kita tertawa, tapi sensasi ketawanya beda, lur.
Kalau
kata salah satu tulisan di roundtext, “Introvert aja
ikut demo”, nah, menggelitik nih. Bagaiamana kita bisa membayangkan
betapa tololnya pemerintah (sekali lagi ngutip dari Pak Menteri),
sampai bisa menggugah hati kaum introvert untuk demo. Bayangkan,
kaum-kaum yang alergi ketemu orang lain, bisa berbaur gitu.
Atau
tulisan lain: “Asline mager pol, tapi piye meneh? DPRe
Pekok” (Aslinya mager banget, tapi gimana lagi? DPRnya
tolol). Ini makin menguatkan narasi “DPR Asu”-nya Si Pengumpat,
atau kutipan lejen “Tolol” dari Pak Menteri.
Kalau tadi mampu menggugah kaum introvert, kali ini mampu mengajak
keluar golongan magerisme-rebahanisme-tiduranisme. Hebat bukan, DPR?
Sekali
lagi saya tak mengatakan bahwa anggota dewan yang terhormat itu asu,
pekok, atau tolol. Saya cuman mengutip nggih, Pak. Jangan hilangkan
saya. Nah, itu poinnya.
Semua
bukan soal lucu-lucuan aja. Buktinya, di tengah terik sang surya,
sadar akan massa yang kehausan, warga memberikan bantuannya. Kios
Buah Mbak Sum misal. Terlihat, dalam video yang viral, mereka
memberikan buah-buahan kepada para demonstran dan setelah saya
temui–benar–tujuh sampai sepuluh kilogram buah mereka berikan
secara cuma-cuma.
“Jadi,
teman-teman dapat perintah dari bos untuk memberi para mahasiswa yang
berdemo sekitar tujuh atau sepuluh kilogram. Mungkin bos saya
berfikir melakukan hal baik yang spontanitas itu jadi lebih oke,”
Ujar Nurcholis (28), salah satu penjual buah di Jalan Colombo.
Bahkan, pemilik kios memberi apresiasi kepada massa yang menyuarakan
aspirasi mereka tanpa menimbulkan kericuhan.
Selain
di kios buah, ada lagi hal menarik, di Gang Guru misalnya. Beberapa
masyarakat juga secara cuma-cuma memberikan air minum kemasan.
“Ya nggakpapa mas, kalau ada yang dituntut,
apalagi soal rakyat, mahasiswa emang harus gitu”, kata Hamba Allah,
Si-Pemberi-Air-Minum-Kemasan.
Selain
dua cerita di atas, masih banyak cerita lagi. Salah satunya kesadaran
massa untuk memunguti sampah. Sambil berkeliling membawa trashbag,
mereka berucap “Tolong ya, jangan buang DPR sembarangan!”. Eh,
sekali lagi, maaf anggota dewan yang terhormat. Anda bukan sampah
kok, e-he-he
Nah,
wahai sidang pembaca yang saya hormati, khususnya
netizen-yang-budiman-dan-berwawasan-luas. Demo itu nggak selalu
rusuh, malah banyak cerita lucu yang bisa kalian temui. Ya, entah
sih, mungkin beberapa netizen takut kulitnya hitam atau gimana, tapi
kan ada sunblock atau apa itu namanya. Ehehe.
Sekarang
sampai dimana kita? Oh, terakhir ya? Maaf, pemimpin redaksi saya
bilang: “Cukup, udah kepanjangan, bgst!”. Saya nggak mau memberi
konklusi, tapi yang ingin saya sampaikan adalah:
Biarlah,
mereka berjuang dengan cara mereka sendiri. Toh, nyinyiran kalian tak
akan mengubah sikap mereka. Apalah arti nyinyiran
netizen-yang-budiman-dan-berwawasan-luas jika dibanding kerelaan
mereka yang turun ke jalan panas-panasan, teriak-teriak. Sedangkan,
mereka ngadem di kamar kost, nyinyir dan mencari pembelaan karena
tidak mau ikut aksi.
“Ngapain
sih demo? Panas tau, mending di rumah kan, adem.”
Ya,
saya jawab. Ikutlah sesekali, demo yang beneran demo. Biar pertanyaan
itu selanjutnya kalian temukan jawabannya. Kalau kalian nggak mau
nyari tau, gimana akan mengerti? Apalagi hanya nyinyir nggak berguna,
pakai bahasa asing yang sama sekali menambah kebingungan kawan Anda
yang membacanya, wahai netizen-yang-budiman-dan-berwawasan-luas.
Ingatlah,
nyinyir dari dalam kost tidak akan mengubah apapun! Meski saya
percaya, nyinyir adalah hak segala bangsa yang dilindungi konstitusi.
Jadi, nyinyirlah sebelum nyinyir diatur dalam RKUHP. Sehingga Anda,
kehilangan hak yang kudus itu.
Pada
akhirnya, saya kembali mengingatkan bahwa ini bukan karya tulis
ilmiah yang akan ikut lomba, ini juga bukan PKM yang siap ikut
Pimnas, bahkan bukan juga analisis tajam untuk dimuat dalam media
besar. Ini adalah curhatan, jadi, skuy, santai aja.
Ahmad
Effendi
Editor:
Rachmad Ganta Semendawai