Obrolan Patriarki #1 |
"We fight patriarchy, not each other!"
Kurang lebih begitulah bunyi postingan yang diunggah teman saya dalam akun jejaring sosial pribadinya. Semerbak isu kesetaraan gender yang dibalut dalam suatu gerakan melawan budaya patriarki, tak ayal mulai menjadi hot issues di kalangan pengguna media sosial. Gerakan ini digaungkan oleh kelompok yang menamai diri mereka sebagai feminis.
Seperti kita ketahui bersama, patriarki adalah sebuah praktik dalam sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kendali utama dan mendominasi berbagai peran. Tak ayal mulai dari kepemimpinan politik hingga penguasaan properti disetir oleh laki-laki.
Seperti kita ketahui bersama, patriarki adalah sebuah praktik dalam sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kendali utama dan mendominasi berbagai peran. Tak ayal mulai dari kepemimpinan politik hingga penguasaan properti disetir oleh laki-laki.
Selain gerakan lawan patriarki, muncul golongan oposisi yang melabeli diri mereka sebagai kelompok anti-feminis. Merekalah golongan yang melanggengkan dan masih mendukung budaya patriarki. Golongan tersebut justru berpendapat bahwa feminis dapat menghancurkan kodrat seorang perempuan.
Feminis membuat tatanan kehidupan perempuan menjadi abu-abu karena tidak dapat membedakan mana yang baik dengan yang buruk. Ya, Patriarki lekat dengan kehidupan masyarakat kita—pun demikian, sistem tersebut juga memunculkan pro dan kontra dalam pemikiran setiap individu yang memaknainya.
Feminis membuat tatanan kehidupan perempuan menjadi abu-abu karena tidak dapat membedakan mana yang baik dengan yang buruk. Ya, Patriarki lekat dengan kehidupan masyarakat kita—pun demikian, sistem tersebut juga memunculkan pro dan kontra dalam pemikiran setiap individu yang memaknainya.
Terlepas dari sikap simpati dan antipati seseorang terhadap patriarki, celakanya budaya tersebut sudah tercipta sejak dahulu kala. Manusia zaman neolitik tidak lagi menggantungkan hidupnya pada alam, mereka beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya serta aktif membuat perubahan. Kemudian pasti akan timbul pertanyaan, “Lalu apa korelasi antara patriarki dengan masyarakat masa neolitik?”.
Masyarakat masa neolitik dicirikan memiliki sikap hidup yang mulai meninggalkan kultur nomaden dan memulai sedenter. Mereka mulai mengembangkan penghidupan baru berupa kegiatan bercocok tanam sederhana dengan sistem slash and burn atau terjadi perubahan dari food gathering ke food producing.
Peradaban pertanian pertama kali yang tercatat dalam sejarah adalah aktivitas kebudayaan bangsa Sumeria dan Mesir. Hal tersebut merupakan situasi logis dari adanya perubahan rupa bumi secara geologis. Sekitar 8.000 – 11.000 tahun yang lalu, ketika Jaman Es terakhir telah usai, padang rumput kuno “Afrasia” yang membentang mulai dari daerah pegunungan Afrika Timur melalui Arabia hingga pegunungan Ural di Asia Tengah mengalami kemusnahan, akibat perubahan iklim.
Peradaban pertanian pertama kali yang tercatat dalam sejarah adalah aktivitas kebudayaan bangsa Sumeria dan Mesir. Hal tersebut merupakan situasi logis dari adanya perubahan rupa bumi secara geologis. Sekitar 8.000 – 11.000 tahun yang lalu, ketika Jaman Es terakhir telah usai, padang rumput kuno “Afrasia” yang membentang mulai dari daerah pegunungan Afrika Timur melalui Arabia hingga pegunungan Ural di Asia Tengah mengalami kemusnahan, akibat perubahan iklim.
Beriringan dengan mengeringnya padang rumput tersebut, hewan buruan akan berpindah mencari tempat yang masih subur. Para pemburu dan pengumpul yang mengikuti hewan buruan ke utara akhirnya bertemu dengan lembah sungai Eufrat dan Tigris, sementara yang berkelana ke selatan berjumpa dengan lembah sungai Nil.
Pada masa itu, area lembah sungai merupakan medan yang tidak pernah dihuni oleh manusia. Karena terjepit antara dua keadaan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka, kelompok-kelompok pemburu dan pengumpul ini akhirnya memutuskan untuk bergerak memasuki area lembah sungai. Dari sini mereka berusaha menaklukkan wilayah tersebut, istilah jawanya adalah “Babat alas”.
Pada masa itu, area lembah sungai merupakan medan yang tidak pernah dihuni oleh manusia. Karena terjepit antara dua keadaan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka, kelompok-kelompok pemburu dan pengumpul ini akhirnya memutuskan untuk bergerak memasuki area lembah sungai. Dari sini mereka berusaha menaklukkan wilayah tersebut, istilah jawanya adalah “Babat alas”.
Proses penaklukan ini berjalan amat berat—karena pada masa itu—peralatan yang mereka gunakan hanya diperuntukkan sebagai media berburu. Kondisi demikian, mendesak manusia neolitik untuk mengimprovisasi alat-alat mereka. Hal tersebut dilakukan demi membersihkan lahan-lahan liar yang memakan proses beratus tahun lamanya.
Sementara, jarang ada binatang buruan yang akan mengikuti mereka memasuki lembah-lembah sungai itu. Mereka dihadapkan pada keharusan untuk menemukan sumber makanan lain agar tetap survive.
Sementara, jarang ada binatang buruan yang akan mengikuti mereka memasuki lembah-lembah sungai itu. Mereka dihadapkan pada keharusan untuk menemukan sumber makanan lain agar tetap survive.
Saat itulah kaum perempuan muncul bak juru selamat. Mereka menggunakan keterampilan mengolah biji-bijian menjadi tanaman untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Ketika laki-laki berangkat ke hutan dalam rangka berburu, maka perempuannya menanam umbi-umbian dan biji-bijian di lahan datar yang tidak jauh dari huniannya. Kaum perempuanlah penemu “Ilmu cocok tanam” pertama, sekaligus pekerja pertanian perdana.
Seiring berkembangnya zaman, kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan dirasa tidak lagi cocok karena kondisi alam yang berubah. Selain itu, kegiatan pertanian memberikan hasil lebih pada perilaku kehidupan manusia daripada berburu, meramu, dan mengumpul.
Seiring berkembangnya zaman, kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan dirasa tidak lagi cocok karena kondisi alam yang berubah. Selain itu, kegiatan pertanian memberikan hasil lebih pada perilaku kehidupan manusia daripada berburu, meramu, dan mengumpul.
Mengutip dalam buku Loekman Soetrisno, Paradigma Baru Pembangunan Pertanian: Sebuah Tinjauan Sosiologis (2002), pada prinsipnya teknologi pertanian berkembang sesuai dengan perkembangan budaya dalam masyarakat pendukungnya. Karena keharusan untuk mempertahankan hidup, manusia mengembangkan teknologi pertanian yang semakin maju seiring dengan kemajuan budayanya.
Teknologi pertanian yang maju dan demikian semakin pesat ini, ternyata justru membuat aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin tertutup bagi (kaum-red) perempuan. Penemuan arkeologi membuktikan bahwa adanya teknologi bajak/ngluku menggunakan tenaga hewan ternak, telah menggusur kaum perempuan dari lapangan pertanian.
Teknologi pertanian yang maju dan demikian semakin pesat ini, ternyata justru membuat aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin tertutup bagi (kaum-red) perempuan. Penemuan arkeologi membuktikan bahwa adanya teknologi bajak/ngluku menggunakan tenaga hewan ternak, telah menggusur kaum perempuan dari lapangan pertanian.
Walaupun hanya menggusur tidak sampai menghilangkan perannya—perempuan mulai termarginalkan karena hal tersebut (teknologi pertanian). Bajak merupakan alat pertanian yang berat dan tidak mungkin dikendalikan oleh perempuan. Pendesakan masuknya sistem peternakan ke dalam pertanian telah membuat ruang bagi kaum perempuan—yang keahliannya hanya dalam bidang pertanian—menjadi semakin tertutup.
Karena perempuan makin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka perempuan semakin tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik dan rumah tangga. Ketika posisi perempuan semakin merangsek dalam lapangan domestik inilah, patriarki mulai menunjukkan keberadaannya sebagai sistem sosial dalam masyarakat.
Karena perempuan makin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka perempuan semakin tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik dan rumah tangga. Ketika posisi perempuan semakin merangsek dalam lapangan domestik inilah, patriarki mulai menunjukkan keberadaannya sebagai sistem sosial dalam masyarakat.
Raissa Rofifah Hanun
Editor: Rachmad Ganta Semendawai