Illustrasi: Sweet Sandpie |
Islam masuk ke wilayah Nusantara melalui Selat Malaka, Barus, Sriwijaya, Aceh menuju pulau Jawa di Demak, Jepara, dan Gresik. Dari sana penyebaran Islam bergerak menuju wilayah Timur Indonesia seperti, Banjarmasin, Goa, Ambon, hingga Ternate. Pada gilirannya, secara politik berdiri Kerajaan Perlak, Kerajaan Pasai, Kerajaan Malaka, Kerajaan Aceh, Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten, Kerajaan Goa, Kerajaan Ternate, dan lainnya. Secara damai, dialogis dan kultural, Islam masuk serta menyebar ke seluruh daratan Nusantara.
Sebagai agama populis, egaliter, dengan etos dan budaya dagang; Islam telah membangkitkan semangat wirausaha para pemeluknya yang terutama tinggal di daerah pesisir. Pemeluk awal Islam di Nusantara adalah para pedagang kaya, makmur, dan terpelajar. Segera saja hal itu menjadi daya tarik bagi kaum pribumi. Pengembangan Islam selanjutnya melahirkan apa yang disebut sebagai pusat-pusat lingkaran peradaban, yakni masjid, istana, pesantren, dan pasar.
Dengan karakter yang tidak membedakan antara kegiatan agama dan politik, bahkan ekonomi, maka agama ini memilki struktur-struktur tradisional mulai dari pesantren, madrasah, meunasah (bangunan keagamaan di Aceh-red), majelis taklim, organisasi dagang, sampai tarekat sufi, pengajian, gerakan pemuda, masjid sampai pranata haji. Struktur-struktur sosial ini selanjutnya menjadi wadah terlahirnya para pemimpin Islam.
Para pedagang, mubalig, guru-guru agama, raja-raja pribumi, pangeran, ulama, pemimpin tarekat sufi, wali sufi pengembara, seniman, sastrawan, cendekiawan, tabib, dan sebagai memerankan diri dalam transformasi sosial dan budaya masyarakat nusantara. Pranata-pranata sosial keagamaan dan budaya yang diciptakan oleh aktivitas masyarakat muslim Nusantara serta penulisan kitab-kitab keagamaan dalam bahasa Melayu sangat efektif sebagai faktor pendorong bagi terjadinya integrasi bangsa Indonesia.
Sejak abad ke-16 kepulauan Nusantara telah diintegrasikan oleh Islam, agama yang notabene relatif baru dan jauh dari pusat-pusat peradaban Islam. Dalam tiga atau empat abad, Islam mampu menjadi agama rakyat yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia. Betapa sedikit sekali yang tertinggal dari warisan Hindu-Budha dimasa lalu, bahkan di pedalaman Jawa sekalipun yang kemudian memunculkan pertanyaan mengapa kemenangan Islam begitu komplit. (Geertz: 1974)
Ketika kolonialisme datang di bumi Nusantara, agama dan jiwa kebudayaan Islam menolak penindasan, serta ketidakadilan secara langsung. Dari sini dapat dilihat bukti Islam telah menggerakkan sikap penentangan terhadap penjajah. Kesadaran nasionalisme umat Islam dalam praktiknya mengambil bentuk yang beragam, mulai dari perlawanan fisik terhadap kolonialisme (paling lambat sejak awal abad ke-19 dalam bentuk apa yang disebut sebagai pre/proto nasionalisme), sikap anti-kapitalisme, peningkatan kualitas pendidikan, hingga penguatan ekonomi masyarakat pribumi. Hal itu dimungkinkan, karena munculnya kesadaran sejarah Islam yang panjang di kepulauan Nusantara. Kesadaran inilah yang memunculkan nasionalisme Islam, yang berbeda dengan nasionalisme sekuler yang lepas dari agama.
Perlawanan fisik itu menampakkan wajahnya pada konfrontasi langsung dengan kolonialisme Belanda yang dimulai sejak pertengahan abad ke-17 dengan pecahnya Perang Ternate (1635-1646), Perang Makassar (1660-1669), Perang Trunojoyo (1675-1679) di Jawa, Perang Banten (1680-1682), dan terutama dalam perang anti-kolonial sejak akhir abad ke-18, ketika VOC bangkrut dan menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada pemerintah Hindia-Belanda.
Pertempuran paling sengit dan menimbulkan kerugian besar adalah Perang Cirebon (1802-1806), Perang Palembang (1812-1816), Perang Paderi (1821-1838) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjarmasin (1859-1862), dan Perang Aceh (1872-1908). Semua aksi bersenjata ini digerakkan oleh raja-raja, pangeran, ulama, pemimpin tarekat serta santri-santri mereka.
Dalam pergerakan modern menjelang kemerdekaan, umat Islam telah aktif membangkitkan kesadaran nasional untuk berjuang melalui jalur organisasi dan tidak lagi melalui jalur perang. Pada tahun 1901, di Jakarta telah didirikan Ormas Jam’iyatul Khoir yang mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan dan dakwah. Lebih jauh, tahun 1904 KH Samanhudi di Surakarta mendirikan Serikat Dagang Islam yang mengkonsentrasikan diri dalam kebangkitan dan kedaulatan ekonomi Bangsa.
Kemudian tampillah institusi penting Islam yang menonjol. Ialah Syarikat Dagang yang merupakan organisiasi kelanjutan dari Syarikat Dagang Islam (SDI), dimana organisasi ini memiliki agenda politik selain ekonomi. Warna berbeda juga turut hadir dari Muhammadiyah yang bergerak dalam lapangan sosial dan pendidikan, serta NU yang terutama giat dalam lapangan pendidikan pesantren. Organisasi-organisasi Islam berskala nasional dan modern ini menghendaki pemerintahan sendiri oleh rakyat Indonesia dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari penjajahan.
Dari fakta historis di atas, maka sangat jelas, bahwa Islam tidak merintangi nasionalisme, justru melalui Islam, nasionalisme Indonesia dapat tumbuh subur. Pergerakan-pergerakan Islam sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan. Dibandingkan organisasi kedaerahan yang masih berbasis etnik, termasuk Budi Utomo (basis kepentingan priayi Jawa), gerakan SI justru bersifat nasional.
Islam terbukti berfungsi sebagai faktor integrasi, bahkan lebih jauh lagi akar dari nasionalisme dan pembentukan negara-bangsa untuk kasus Indonesia. SI telah berhasil menarik para pedagang, para pekerja di kota-kota, para kyai dan bahkan sejumlah priayi serta kaum tani ke dalam gerakan politik massal pertama di jaman penjajahan (Benda: 1958).